Kota
dan Kampung di Mataku
Kadang aku duduk di pinggir jalan
kampus, menatap lampu-lampu kota Palembang yang berkelap-kelip. Suara klakson,
motor lalu-lalang, dan riuhnya keramaian membuatku teringat kampung halaman.
Di kampung, hidup lebih sederhana.
Pagi-pagi aku dengar ayam berkokok, suara petani bercakap-cakap di sawah, dan
angin sepoi yang membawa aroma tanah basah. Makan pagi bersama keluarga, dengan
pisang goreng hangat dan kopi pahit ibu—itu rasanya hangat dan penuh cinta.
Di sini, di kota, segalanya cepat
dan keras. Banyak orang yang tak kukenal berlalu-lalang, gedung-gedung tinggi
menantang langit, dan waktu terasa berdetak lebih cepat. Kadang aku merasa
tersesat di antara mereka, jauh dari akar dan identitasku.
Namun, di kota pula aku belajar arti
perjuangan yang sesungguhnya. Di sini aku diberi kesempatan membuka lembar
baru, menjajal dunia yang dulu hanya kubayangkan. Walau berat, aku tahu aku
harus bertahan. Demi masa depan yang lebih baik.
Aku rindu kampung, tapi aku juga tak
ingin terjebak di sana selamanya. Kota ini adalah jembatan antara mimpi dan
kenyataan.
Suatu malam, setelah seharian penuh
dengan tugas kuliah dan belajar kitab, aku duduk termenung di balkon kontrakan
mamang. Lampu kota Palembang berpendar di kejauhan, tapi hatiku terasa berat.
Aku rindu kampung.
Rindu pada suara riang ibu yang
selalu membangunkanku pagi-pagi dengan secangkir kopi hangat. Rindu pada
pelukan ayah yang meski kasar, penuh kasih sayang yang tulus. Bahkan rindu pada
bau tanah basah setelah hujan yang tak pernah kudapatkan di sini.
Tapi aku juga sadar, aku harus
berdamai dengan kenyataan ini. Kota ini adalah tempat aku mencoba mewujudkan
mimpi yang dulu hanya jadi angan.
Dengan tangan gemetar, aku mengambil
ponsel dan menekan nomor ibu.
“Ibu, aku kangen,” suaraku bergetar.
“Doni, Nak, ibu juga rindu kamu. Di
sini semuanya baik. Jangan lupa jaga diri, ya.”
Seketika, rindu itu berubah jadi
semangat baru.
Aku tahu, perjalanan ini berat. Tapi
aku tak sendiri. Ada keluarga yang selalu menunggu di kampung, dan aku punya
tekad yang makin kuat untuk terus maju.
Di kontrakan mamang, suara gaduh
dari rumah sebelah sering kali mengusikku dari kesunyian malam. Keluarga orang
Pagaralam itu memang tak pernah sepi — terutama Dodo, anak sulungnya yang
enerjik dan ramah.
Suatu sore, saat aku baru saja
membuka pintu kontrakan, Dodo menyapaku dengan senyum lebar.
“Kamu orang Lintang ya? Aku juga
orang Pagaralam, Doni!” katanya sambil tertawa kecil.
Aku membalas, “Iya, sama dong. Asal
kita dekat, ya?”
Percakapan itu jadi awal yang
sederhana, tapi berarti.
Ternyata, Dodo punya hobi yang sama
denganku: bernyanyi. Dia jago main gitar, sedangkan aku suka bernyanyi meski
suara masih pas-pasan. Sering kami habiskan waktu di teras kontrakan, saling
bertukar lagu dan cerita tentang hidup.
Kadang, saat aku lelah menghadapi
tugas kuliah dan perasaan rindu kampung, Dodo hadir dengan canda dan
semangatnya yang tak pernah padam.
“Kita harus bikin band, Doni! Biar
hidup kita gak cuma soal kuliah dan tugas,” ujarnya penuh semangat.
Aku tertawa, merasa terhibur.
Persahabatan kami bukan sekadar
tetangga, tapi tempat saling menguatkan saat dunia terasa berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar