Sabtu, 24 Mei 2025

Kota dan Kampung di Mataku

 

Kota dan Kampung di Mataku



Kadang aku duduk di pinggir jalan kampus, menatap lampu-lampu kota Palembang yang berkelap-kelip. Suara klakson, motor lalu-lalang, dan riuhnya keramaian membuatku teringat kampung halaman.

Di kampung, hidup lebih sederhana. Pagi-pagi aku dengar ayam berkokok, suara petani bercakap-cakap di sawah, dan angin sepoi yang membawa aroma tanah basah. Makan pagi bersama keluarga, dengan pisang goreng hangat dan kopi pahit ibu—itu rasanya hangat dan penuh cinta.

Di sini, di kota, segalanya cepat dan keras. Banyak orang yang tak kukenal berlalu-lalang, gedung-gedung tinggi menantang langit, dan waktu terasa berdetak lebih cepat. Kadang aku merasa tersesat di antara mereka, jauh dari akar dan identitasku.

Namun, di kota pula aku belajar arti perjuangan yang sesungguhnya. Di sini aku diberi kesempatan membuka lembar baru, menjajal dunia yang dulu hanya kubayangkan. Walau berat, aku tahu aku harus bertahan. Demi masa depan yang lebih baik.

Aku rindu kampung, tapi aku juga tak ingin terjebak di sana selamanya. Kota ini adalah jembatan antara mimpi dan kenyataan.

Suatu malam, setelah seharian penuh dengan tugas kuliah dan belajar kitab, aku duduk termenung di balkon kontrakan mamang. Lampu kota Palembang berpendar di kejauhan, tapi hatiku terasa berat.

Aku rindu kampung.

Rindu pada suara riang ibu yang selalu membangunkanku pagi-pagi dengan secangkir kopi hangat. Rindu pada pelukan ayah yang meski kasar, penuh kasih sayang yang tulus. Bahkan rindu pada bau tanah basah setelah hujan yang tak pernah kudapatkan di sini.

Tapi aku juga sadar, aku harus berdamai dengan kenyataan ini. Kota ini adalah tempat aku mencoba mewujudkan mimpi yang dulu hanya jadi angan.

Dengan tangan gemetar, aku mengambil ponsel dan menekan nomor ibu.

“Ibu, aku kangen,” suaraku bergetar.

“Doni, Nak, ibu juga rindu kamu. Di sini semuanya baik. Jangan lupa jaga diri, ya.”

Seketika, rindu itu berubah jadi semangat baru.

Aku tahu, perjalanan ini berat. Tapi aku tak sendiri. Ada keluarga yang selalu menunggu di kampung, dan aku punya tekad yang makin kuat untuk terus maju.

Di kontrakan mamang, suara gaduh dari rumah sebelah sering kali mengusikku dari kesunyian malam. Keluarga orang Pagaralam itu memang tak pernah sepi — terutama Dodo, anak sulungnya yang enerjik dan ramah.

Suatu sore, saat aku baru saja membuka pintu kontrakan, Dodo menyapaku dengan senyum lebar.

“Kamu orang Lintang ya? Aku juga orang Pagaralam, Doni!” katanya sambil tertawa kecil.

Aku membalas, “Iya, sama dong. Asal kita dekat, ya?”

Percakapan itu jadi awal yang sederhana, tapi berarti.

Ternyata, Dodo punya hobi yang sama denganku: bernyanyi. Dia jago main gitar, sedangkan aku suka bernyanyi meski suara masih pas-pasan. Sering kami habiskan waktu di teras kontrakan, saling bertukar lagu dan cerita tentang hidup.

Kadang, saat aku lelah menghadapi tugas kuliah dan perasaan rindu kampung, Dodo hadir dengan canda dan semangatnya yang tak pernah padam.

“Kita harus bikin band, Doni! Biar hidup kita gak cuma soal kuliah dan tugas,” ujarnya penuh semangat.

Aku tertawa, merasa terhibur.

Persahabatan kami bukan sekadar tetangga, tapi tempat saling menguatkan saat dunia terasa berat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

https://www.wattpad.com/1551151399-guru-pembeku-senyum-bab-pertama-kedatangan-di