Sabtu, 24 Mei 2025

Curhat di Teras Malam

 

Curhat di Teras Malam

Malam itu langit Palembang mendung. Angin lembut lewat di antara sela-sela kontrakan. Aku duduk di teras sambil memainkan gitar pinjaman milik Dodo. Tak lama, Dodo datang, masih pakai seragam perawat, sedikit kusut dan bercampur aroma keringat.

“Capek?” tanyaku sambil senyum kecil.

Dia mengangguk lelah, lalu duduk di sebelahku. Matanya sayu, tak seceria biasanya.

“Kamu tahu gak, Don,” katanya pelan, “kadang aku ngerasa hidup ini ngebut banget. Kayak aku gak sempat napas.”

Aku diam, mendengarkan. Dodo jarang bicara seperti ini.

“Aku kerja dari pagi sampe sore. Malam ngamen di lampu merah. Pagi-pagi udah harus bangun lagi bantuin Ibu. Adik-adik masih sekolah. Kadang aku kepikiran… apa semua ini bakal cukup?”

Ia menarik napas panjang. “Ayah ninggalin kita waktu aku kelas dua SMA. Hutang masih numpuk. Ibu gak pernah ngeluh, tapi aku tahu dia capek. Makanya aku kerja keras, Don. Aku harus jadi tembok buat keluarga.”

Aku menatapnya. “Do, kamu hebat. Gak semua orang bisa sekuat kamu.”

Dia tersenyum kecil, matanya berkaca. “Hebat ya? Tapi kadang aku ngerasa sendirian. Gak tahu harus cerita ke siapa.”

Aku meletakkan gitar di pangkuanku, lalu menepuk bahunya. “Kamu gak sendiri, Do. Selama aku di sini, kamu punya teman.”

Kami diam cukup lama. Hanya suara jangkrik yang terdengar. Tapi di antara diam itu, kami tahu—malam itu bukan cuma tentang beban, tapi tentang ikatan yang makin kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

https://www.wattpad.com/1551151399-guru-pembeku-senyum-bab-pertama-kedatangan-di