Curhat
di Teras Malam
“Capek?” tanyaku sambil senyum
kecil.
Dia mengangguk lelah, lalu duduk di
sebelahku. Matanya sayu, tak seceria biasanya.
“Kamu tahu gak, Don,” katanya pelan,
“kadang aku ngerasa hidup ini ngebut banget. Kayak aku gak sempat napas.”
Aku diam, mendengarkan. Dodo jarang
bicara seperti ini.
“Aku kerja dari pagi sampe sore.
Malam ngamen di lampu merah. Pagi-pagi udah harus bangun lagi bantuin Ibu.
Adik-adik masih sekolah. Kadang aku kepikiran… apa semua ini bakal cukup?”
Ia menarik napas panjang. “Ayah
ninggalin kita waktu aku kelas dua SMA. Hutang masih numpuk. Ibu gak pernah
ngeluh, tapi aku tahu dia capek. Makanya aku kerja keras, Don. Aku harus jadi
tembok buat keluarga.”
Aku menatapnya. “Do, kamu hebat. Gak
semua orang bisa sekuat kamu.”
Dia tersenyum kecil, matanya
berkaca. “Hebat ya? Tapi kadang aku ngerasa sendirian. Gak tahu harus cerita ke
siapa.”
Aku meletakkan gitar di pangkuanku,
lalu menepuk bahunya. “Kamu gak sendiri, Do. Selama aku di sini, kamu punya
teman.”
Kami diam cukup lama. Hanya suara
jangkrik yang terdengar. Tapi di antara diam itu, kami tahu—malam itu bukan
cuma tentang beban, tapi tentang ikatan yang makin kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar