“Senyum dan Air
Mata di 2 Juni”
By. Deni Irwansyah
"Aah, telpon
Tono aja ah... siapa tahu dia juga ngerasa sama," pikirnya. Ia meraih ponselnya.
Tiiiiiit...suara
nada tunggu terdengar, menghubungi nomor Tono.
"Hoi, bro.
Ada apa telpon malem-malem?" suara Tono terdengar di ujung sana.
"Lo lagi
ngapain, Ton? Gue gemetar banget nunggu surat itu besok," kata Bayu cepat.
"Haha, santai
aja bro. Gue juga deg-degan. Tapi ya mau gimana lagi, tinggal nunggu. Sabar ya.
Gue lagi sama Jovi nih, kita lagi cerita-cerita soal surat besok."
"Oh ya? Gue
ke sana ya. Biar kita cerita bareng." "Gas, bro." Bayu menutup telepon.
Tanpa banyak pikir, ia langsung bergegas menuju rumah Tono. Bayu mengambil jaket
lusuhnya yang tergantung di belakang pintu. Malam sudah cukup larut, tapi jalanan
kampung masih menyisakan suara tawa anak-anak kecil dan deru sepeda motor yang sesekali
melintas. Lampu jalan remang-remang menemani langkahnya yang cepat. Rumah Tono tak
terlalu jauh, hanya berjarak tiga gang dari rumahnya. Tak sampai sepuluh menit,
Bayu sudah berdiri di depan pagar besi yang mulai berkarat itu. Ia mengetuk pelan.
Tok tok tok.
"Ton! Ini
gue, Bayu!"
Tak lama, pintu
terbuka. Tono muncul dengan senyum lebar.
"Wah cepet
amat lo. Masuk, masuk!"
Di ruang tamu
yang sederhana, Jovi sudah duduk bersila sambil memegang segelas teh manis. Mereka
tampak serius tadi, tapi begitu melihat Bayu, suasana langsung cair. "Yo, Bay!
Ikut deg-degan juga, ya?" sapa Jovi sambil menyodorkan teh.
Bayu duduk, mengangguk
pelan. "Banget. Gue sampe gak bisa tidur. Rasanya kayak... gimana ya, kayak
nunggu hasil vonis."
Tono tertawa kecil.
"Iya, kayak mau disidang. Padahal kita udah tahu selama ini usaha kita kayak
apa. Tapi tetep aja, deg-degan."
Suasana hening
sejenak. Hanya terdengar detik jam dinding dan suara jangkrik dari luar.
"Gue tuh
bukan cuma takut gak lulus," ucap Bayu akhirnya. "Tapi lebih takut ngeliat
muka ibu kalau ternyata gue gagal. Dia udah banyak berkorban..."
Jovi menepuk pundaknya
pelan. "Gue ngerti, Bay. Kita semua punya alasan kenapa hasil besok itu penting
banget." Mereka bertiga saling pandang. Tidak perlu banyak kata-kata lagi malam
itu. Hanya secangkir teh, percakapan singkat, dan keheningan yang jadi teman menunggu
pagi.
Sebelum surat itu dibagikan, sekolah menggelar acara perpisahan sederhana
di aula. Semua siswa kelas IX berkumpul, mengenakan seragam rapi, sebagian dengan
dasi dan sepatu mengkilap. Meski gugup menanti pengumuman, mereka dipaksa duduk
tenang mengikuti rangkaian acara yang sudah disusun oleh OSIS dan para guru.
Bayu duduk di
barisan tengah bersama Tono, Jovi, dan Aisyah. Suasana aula ramai, tapi di dalam
hati, semua orang dihantui satu hal: lulus atau tidak.
Tiba-tiba lampu
aula sedikit diredupkan. Suara MC terdengar dari panggung kecil di depan:
“Selamat pagi
semuanya! Sebelum kita mengetahui hasil perjuangan kita selama tiga tahun ini, mari
kita nikmati penampilan spesial dari teman kita, Renita, yang akan menyanyikan lagu
‘Mungkin Hari Ini, Esok atau Nanti’.”
Tepuk tangan menggema.
Renita naik ke panggung. Ia mengenakan gaun putih sederhana, wajahnya tenang
namun sorot matanya penuh perasaan. Musik mulai mengalun pelan. Suaranya jernih
dan menyentuh, membawa emosi semua orang mengambang.
"Mungkin
hari ini… esok atau nanti…"
Bayu terdiam.
Ia melirik Aisyah di sampingnya, yang tampak terhanyut dengan lagu itu. Bahkan Putra
yang biasanya cerewet, kini hanya menatap panggung tanpa suara.
Beberapa siswa
mulai menyeka mata. Lagu itu seperti menyuarakan perasaan mereka—tentang perpisahan,
harapan, dan waktu yang akan membawa mereka ke jalan masing-masing.
Setelah lagu selesai,
aula kembali hening sesaat sebelum tepuk tangan panjang mengisi ruangan. Renita
menunduk hormat, lalu turun panggung dengan wajah haru.
Tak lama, MC kembali berbicara, “Penampilan selanjutnya, kita akan melihat
tarian dari Karla, Karin, dan Anisa. Tepuk tangan dong!” Musik upbeat mulai dimainkan.
Lampu sorot menyoroti panggung yang kini penuh warna. Ketiga penari itu muncul dengan
kostum ceria—kombinasi budaya modern dan sentuhan tradisional. Gerakan mereka lincah
dan penuh semangat. Senyum merekah di wajah penonton. Suasana yang semula tegang
berubah lebih hangat. Bayu ikut bertepuk tangan mengikuti irama, begitu juga Aisyah
dan teman-teman lainnya.
Di tengah tarian, Anisa berputar cepat dan membuat selendangnya melambai-lambai
indah. Karla dan Karin menyusul dengan gerakan serempak yang memesona. Riuh tepuk
tangan terdengar saat mereka menyelesaikan tarian dengan pose terakhir yang anggun.
“Luar biasa!”
teriak salah satu guru sambil berdiri memberi tepuk tangan.
Tono berseru,
“Wah, makin deg-degan nih. Acaranya bagus-bagus, jadi makin kerasa momen perpisahannya.”
Jovi menimpali,
“Gue sampe lupa bentar lagi pengumuman. Tapi serius, tadi nyanyian Renita… gue hampir
nangis, bro.”
Bayu hanya mengangguk.
Dadanya sesak oleh emosi yang belum sempat ia mengerti sepenuhnya.
Lalu, tiba waktunya.
Kepala sekolah naik ke panggung, membawa sepucuk map tebal.
“Hari yang kalian
tunggu-tunggu… akhirnya tiba.”
Suasana langsung
senyap. Semua berdiri menahan napas.
Ketegangan mulai
memuncak. Kepala sekolah baru saja membuka map berisi daftar kelulusan. Para siswa
menahan napas. Suasana aula jadi sunyi, hanya terdengar detak jam dinding dan suara
AC yang mendengung pelan.
Namun tiba-tiba,
dari sisi panggung terdengar suara keras:
“Sebentar! Sebelum
pengumuman, saya juga mau tampil!”
Semua kepala serentak
menoleh. Sosok yang tak asing berjalan mantap ke tengah panggung.
Pak Deni. Guru Prakarya yang terkenal galak, berkepala botak mengilap, dan selalu
sukses membuat siswa merinding saat masuk kelas.
“Wah, Pak Deni…?”
gumam Bayu.
Tapi kali ini
Pak Deni tak membawa spidol atau penggaris panjang. Ia memegang mikrofon… dan tersenyum.
Senyum yang tidak pernah mereka lihat selama tiga tahun ini.
Lalu tanpa aba-aba,
musik dangdut mengalun keras dari speaker.
“Cikini ke Gondangdiaaa~...”
Pak Deni mulai
bernyanyi lagu dangdut dengan gaya penuh percaya diri. Badannya bergoyang kecil,
tangan kanan menjentik ke udara, sementara kaki kanannya sesekali ikut mengayun.
Aula sontak meledak. “WOOOOOO!!!” Tawa pecah.
Suasana yang tadinya
tegang berubah menjadi pesta kecil. Putra sampai jatuh ke belakang saking ngakaknya.
Tono sudah berdiri sambil joget, Jovi dan Sinta ikut-ikutan bergoyang di tempat
duduk. Bahkan guru-guru lain yang duduk di barisan depan pun tampak geli sambil
tepuk tangan.
Bayu menoleh ke
Aisyah. Ia juga tertawa lepas, matanya berkaca-kaca karena terlalu banyak tertawa.
“Aduh… ini mimpi
bukan sih?” ucap Bayu sambil mengusap perutnya yang sakit karena tertawa.
Pak Deni terus
melantunkan bait lagu, lengkap dengan goyangan khas ala pedangdut senior.
“Bukan main, Pak Deni ini! Sekali tampil, langsung pecah!”
seru Karla sambil tepuk tangan.
Setelah lagu selesai,
Pak Deni membungkuk seperti penyanyi profesional.
“Sudah cukup ya.
Biar kalian gak tegang nunggu pengumuman. Sekarang, baru kita buka…”
Semua kembali
terdiam, tapi kini wajah mereka lebih rileks. Deg-degan masih ada, tapi ditutupi
dengan senyum dan sisa tawa yang belum benar-benar reda.
Bayu duduk kembali,
menatap layar ponselnya.
“Terima kasih,
Pak Deni,” bisiknya pelan.
“Hari ini, kami
belajar bahwa guru bisa galak… tapi juga bisa jadi alasan kami tertawa.”
Suasana Aula Sekolah
Matahari mulai condong. Satu per satu guru mulai berdiri di depan.
Kepala sekolah menggenggam mikrofon. “Anak-anak, pengumuman kelulusan akan kami
sampaikan langsung. Dengarkan baik-baik...” Bayu berdiri tegak di antara Tono, Jovi,
Aisyah, dan Putra. Semua hening. Hanya suara kertas dan detak jantung yang terasa.
Saat namanya dipanggil dan dinyatakan LULUS, Bayu tak langsung bersorak.
Ia justru menarik napas panjang dan memejamkan mata. Sore itu, Bayu mengayuh sepeda
pulang. Masih memakai seragam, masih menyimpan suara guru di dadanya. Sampai di
rumah, ibunya sedang menyapu halaman.
“Bu…”
“Iya, Nak?”
“Aku lulus.”
Ibunya
berhenti. Matanya berkaca-kaca. Ia tak berkata apa-apa, hanya memeluk Bayu erat-erat.
Pelukan yang lebih dalam dari ribuan kata ucapan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar