Kamis, 29 Mei 2025

“Senyum dan Air Mata di 2 Juni”

 

 “Senyum dan Air Mata di 2 Juni”

By. Deni Irwansyah

 

Tanggal 2 Juni 2025 adalah hari yang ditunggu-tunggu sekaligus membuat harap-harap cemas. Hari kelulusan. Bayu hanya diam di kamar, tak berkutik. Malam itu ia melamun, sesekali mondar-mandir di ruang kamarnya yang sederhana. Ia sudah tak sabar menanti mentari esok hari—saksi dari isi surat itu yang akan mengubah banyak hal. "Ya Allah, kenapa aku begini ya..." gumamnya pelan. Detak jantungnya terasa begitu kencang, seperti genderang perang yang tak henti.

"Aah, telpon Tono aja ah... siapa tahu dia juga ngerasa sama," pikirnya. Ia meraih ponselnya.

Tiiiiiit...suara nada tunggu terdengar, menghubungi nomor Tono.

"Hoi, bro. Ada apa telpon malem-malem?" suara Tono terdengar di ujung sana.

"Lo lagi ngapain, Ton? Gue gemetar banget nunggu surat itu besok," kata Bayu cepat.

"Haha, santai aja bro. Gue juga deg-degan. Tapi ya mau gimana lagi, tinggal nunggu. Sabar ya. Gue lagi sama Jovi nih, kita lagi cerita-cerita soal surat besok."

"Oh ya? Gue ke sana ya. Biar kita cerita bareng." "Gas, bro." Bayu menutup telepon. Tanpa banyak pikir, ia langsung bergegas menuju rumah Tono. Bayu mengambil jaket lusuhnya yang tergantung di belakang pintu. Malam sudah cukup larut, tapi jalanan kampung masih menyisakan suara tawa anak-anak kecil dan deru sepeda motor yang sesekali melintas. Lampu jalan remang-remang menemani langkahnya yang cepat. Rumah Tono tak terlalu jauh, hanya berjarak tiga gang dari rumahnya. Tak sampai sepuluh menit, Bayu sudah berdiri di depan pagar besi yang mulai berkarat itu. Ia mengetuk pelan.

Tok tok tok.

"Ton! Ini gue, Bayu!"

Tak lama, pintu terbuka. Tono muncul dengan senyum lebar.

"Wah cepet amat lo. Masuk, masuk!"

Di ruang tamu yang sederhana, Jovi sudah duduk bersila sambil memegang segelas teh manis. Mereka tampak serius tadi, tapi begitu melihat Bayu, suasana langsung cair. "Yo, Bay! Ikut deg-degan juga, ya?" sapa Jovi sambil menyodorkan teh.

Bayu duduk, mengangguk pelan. "Banget. Gue sampe gak bisa tidur. Rasanya kayak... gimana ya, kayak nunggu hasil vonis."

Tono tertawa kecil. "Iya, kayak mau disidang. Padahal kita udah tahu selama ini usaha kita kayak apa. Tapi tetep aja, deg-degan."

Suasana hening sejenak. Hanya terdengar detik jam dinding dan suara jangkrik dari luar.

"Gue tuh bukan cuma takut gak lulus," ucap Bayu akhirnya. "Tapi lebih takut ngeliat muka ibu kalau ternyata gue gagal. Dia udah banyak berkorban..."

Jovi menepuk pundaknya pelan. "Gue ngerti, Bay. Kita semua punya alasan kenapa hasil besok itu penting banget." Mereka bertiga saling pandang. Tidak perlu banyak kata-kata lagi malam itu. Hanya secangkir teh, percakapan singkat, dan keheningan yang jadi teman menunggu pagi.

Sebelum surat itu dibagikan, sekolah menggelar acara perpisahan sederhana di aula. Semua siswa kelas IX berkumpul, mengenakan seragam rapi, sebagian dengan dasi dan sepatu mengkilap. Meski gugup menanti pengumuman, mereka dipaksa duduk tenang mengikuti rangkaian acara yang sudah disusun oleh OSIS dan para guru.

Bayu duduk di barisan tengah bersama Tono, Jovi, dan Aisyah. Suasana aula ramai, tapi di dalam hati, semua orang dihantui satu hal: lulus atau tidak.

Tiba-tiba lampu aula sedikit diredupkan. Suara MC terdengar dari panggung kecil di depan:

“Selamat pagi semuanya! Sebelum kita mengetahui hasil perjuangan kita selama tiga tahun ini, mari kita nikmati penampilan spesial dari teman kita, Renita, yang akan menyanyikan lagu ‘Mungkin Hari Ini, Esok atau Nanti’.”

Tepuk tangan menggema.

Renita naik ke panggung. Ia mengenakan gaun putih sederhana, wajahnya tenang namun sorot matanya penuh perasaan. Musik mulai mengalun pelan. Suaranya jernih dan menyentuh, membawa emosi semua orang mengambang.

"Mungkin hari ini… esok atau nanti…"

Bayu terdiam. Ia melirik Aisyah di sampingnya, yang tampak terhanyut dengan lagu itu. Bahkan Putra yang biasanya cerewet, kini hanya menatap panggung tanpa suara.

Beberapa siswa mulai menyeka mata. Lagu itu seperti menyuarakan perasaan mereka—tentang perpisahan, harapan, dan waktu yang akan membawa mereka ke jalan masing-masing.

Setelah lagu selesai, aula kembali hening sesaat sebelum tepuk tangan panjang mengisi ruangan. Renita menunduk hormat, lalu turun panggung dengan wajah haru.

Tak lama, MC kembali berbicara, “Penampilan selanjutnya, kita akan melihat tarian dari Karla, Karin, dan Anisa. Tepuk tangan dong!” Musik upbeat mulai dimainkan. Lampu sorot menyoroti panggung yang kini penuh warna. Ketiga penari itu muncul dengan kostum ceria—kombinasi budaya modern dan sentuhan tradisional. Gerakan mereka lincah dan penuh semangat. Senyum merekah di wajah penonton. Suasana yang semula tegang berubah lebih hangat. Bayu ikut bertepuk tangan mengikuti irama, begitu juga Aisyah dan teman-teman lainnya.

Di tengah tarian, Anisa berputar cepat dan membuat selendangnya melambai-lambai indah. Karla dan Karin menyusul dengan gerakan serempak yang memesona. Riuh tepuk tangan terdengar saat mereka menyelesaikan tarian dengan pose terakhir yang anggun.

“Luar biasa!” teriak salah satu guru sambil berdiri memberi tepuk tangan.

Tono berseru, “Wah, makin deg-degan nih. Acaranya bagus-bagus, jadi makin kerasa momen perpisahannya.”

Jovi menimpali, “Gue sampe lupa bentar lagi pengumuman. Tapi serius, tadi nyanyian Renita… gue hampir nangis, bro.”

Bayu hanya mengangguk. Dadanya sesak oleh emosi yang belum sempat ia mengerti sepenuhnya.

Lalu, tiba waktunya. Kepala sekolah naik ke panggung, membawa sepucuk map tebal.

“Hari yang kalian tunggu-tunggu… akhirnya tiba.”

Suasana langsung senyap. Semua berdiri menahan napas.

Ketegangan mulai memuncak. Kepala sekolah baru saja membuka map berisi daftar kelulusan. Para siswa menahan napas. Suasana aula jadi sunyi, hanya terdengar detak jam dinding dan suara AC yang mendengung pelan.

Namun tiba-tiba, dari sisi panggung terdengar suara keras:

“Sebentar! Sebelum pengumuman, saya juga mau tampil!”

Semua kepala serentak menoleh. Sosok yang tak asing berjalan mantap ke tengah panggung.
Pak Deni. Guru Prakarya yang terkenal galak, berkepala botak mengilap, dan selalu sukses membuat siswa merinding saat masuk kelas.

“Wah, Pak Deni…?” gumam Bayu.

Tapi kali ini Pak Deni tak membawa spidol atau penggaris panjang. Ia memegang mikrofon… dan tersenyum. Senyum yang tidak pernah mereka lihat selama tiga tahun ini.

Lalu tanpa aba-aba, musik dangdut mengalun keras dari speaker.

“Cikini ke Gondangdiaaa~...”

Pak Deni mulai bernyanyi lagu dangdut dengan gaya penuh percaya diri. Badannya bergoyang kecil, tangan kanan menjentik ke udara, sementara kaki kanannya sesekali ikut mengayun. Aula sontak meledak. “WOOOOOO!!!” Tawa pecah.

Suasana yang tadinya tegang berubah menjadi pesta kecil. Putra sampai jatuh ke belakang saking ngakaknya. Tono sudah berdiri sambil joget, Jovi dan Sinta ikut-ikutan bergoyang di tempat duduk. Bahkan guru-guru lain yang duduk di barisan depan pun tampak geli sambil tepuk tangan.

Bayu menoleh ke Aisyah. Ia juga tertawa lepas, matanya berkaca-kaca karena terlalu banyak tertawa.

“Aduh… ini mimpi bukan sih?” ucap Bayu sambil mengusap perutnya yang sakit karena tertawa.

Pak Deni terus melantunkan bait lagu, lengkap dengan goyangan khas ala pedangdut senior.

“Bukan main, Pak Deni ini! Sekali tampil, langsung pecah!” seru Karla sambil tepuk tangan.

Setelah lagu selesai, Pak Deni membungkuk seperti penyanyi profesional.

“Sudah cukup ya. Biar kalian gak tegang nunggu pengumuman. Sekarang, baru kita buka…”

Semua kembali terdiam, tapi kini wajah mereka lebih rileks. Deg-degan masih ada, tapi ditutupi dengan senyum dan sisa tawa yang belum benar-benar reda.

Bayu duduk kembali, menatap layar ponselnya.

“Terima kasih, Pak Deni,” bisiknya pelan.

“Hari ini, kami belajar bahwa guru bisa galak… tapi juga bisa jadi alasan kami tertawa.”

Suasana Aula Sekolah

Matahari mulai condong. Satu per satu guru mulai berdiri di depan. Kepala sekolah menggenggam mikrofon. “Anak-anak, pengumuman kelulusan akan kami sampaikan langsung. Dengarkan baik-baik...” Bayu berdiri tegak di antara Tono, Jovi, Aisyah, dan Putra. Semua hening. Hanya suara kertas dan detak jantung yang terasa. Saat namanya dipanggil dan dinyatakan LULUS, Bayu tak langsung bersorak. Ia justru menarik napas panjang dan memejamkan mata. Sore itu, Bayu mengayuh sepeda pulang. Masih memakai seragam, masih menyimpan suara guru di dadanya. Sampai di rumah, ibunya sedang menyapu halaman.

“Bu…”
“Iya, Nak?”

“Aku lulus.”  

Ibunya berhenti. Matanya berkaca-kaca. Ia tak berkata apa-apa, hanya memeluk Bayu erat-erat. Pelukan yang lebih dalam dari ribuan kata ucapan selamat.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

https://www.wattpad.com/1551151399-guru-pembeku-senyum-bab-pertama-kedatangan-di