Bukan rumah, tapi tempat singgah.
Aku duduk di tepi ranjang,
memandangi langit-langit. Rasa lelah dari perjalanan tadi belum hilang, tapi
pikiran sudah sibuk membayangkan hari-hari ke depan.
Mamang memanggil dari luar, “Doni,
kamu sudah makan belum? Ayo kita makan bareng. Mumpung nasinya masih hangat.”
Aku keluar, duduk di lantai bersama
Mamang. Kami makan diam-diam, hanya suara sendok dan kipas angin yang menemani.
Di sela makan, Mamang berkata,
“Kalau kamu mau tinggal di sini, kamu juga harus bantu-bantu dikit, ya.
Bersih-bersih, belanja, kadang jagain rumah kalau aku ke luar kota.”
Aku mengangguk. “Iya, Mang. Aku
ngerti.”
Tapi dalam hati, ada bisikan kecil. Apa
benar ini cuma kebaikan semata? Atau Mamang punya maksud lain?
Malam itu, aku tidur di kamar baru.
Tapi mata tak kunjung bisa terpejam. Lampu gang di luar memantul lewat jendela,
dan suara motor masih terdengar sesekali.
Palembang, aku sudah kembali. Tapi
kali ini, aku tak sekadar datang—aku akan bertahan.
Suara tawa dan obrolan keras terdengar dari sebelah rumah
Mamang. Sudah dari tadi siang begitu, dan makin sore makin ramai. Kadang
terdengar suara orang menyanyi, kadang suara piring jatuh. Aku intip dari balik
jendela—rupanya tetangga sebelah sedang kumpul keluarga besar.
Kata Mamang, mereka orang Pagaralam. Satu keluarga tinggal
di kontrakan sempit itu, tapi rasanya seperti sepuluh rumah yang digabung jadi
satu.
Sore itu, aku membuka pintu untuk membuang sampah. Pas pintu
terbuka, aku hampir bertabrakan dengan seorang cowok seusia aku. Badannya
tinggi besar, pakai kaos bola dan sandal jepit.
“Wah, maaf,” kataku buru-buru sambil mundur.
“Santai, bro,” katanya sambil senyum. “Eh, kamu orang
Lintang ya?”
Aku kaget. “Iya. Kok tahu?”
Dia tertawa. “Wajahmu kampung banget, hahaha. Tapi
keren-keren. Aku juga orang Pagaralam. Mirip-mirip lah, sama-sama dari atas
gunung turun ke kota.”
Aku ikut tertawa. “Iya juga. Jadi kamu yang sering ribut di
sebelah?”
“Nah itu, salahin emak dan tante-tanteku. Kalau ngumpul
kayak pasar malam,” kata Dodo sambil mengangkat bahu.
Sejak pertemuan itu, aku dan Dodo sering saling sapa. Kadang
ngobrol di depan kontrakan, kadang saling lempar makanan kalau lagi ada lebih.
Walau awalnya aku pikir dia cuma cowok asal-asalan, ternyata Dodo banyak tahu
soal kota ini—bahkan tahu cara hemat hidup mahasiswa.
“Kalau mau beli lauk murah, ke warung Mak Niah belakang
kampus. Jangan ke warteg depan, itu khusus mahasiswa sok kaya,” katanya suatu
malam.
Aku tertawa. “Oke, noted.”
Lingkungan kontrakan Mamang makin terasa hidup. Meski kadang
bising dan bikin kepala cenat-cenut, tapi perlahan aku merasa tidak sendiri.
Ada yang bisa diajak ngobrol, bercanda, dan mungkin—belajar bersama menghadapi
kerasnya Palembang.
Malam di Palembang kadang gerah,
kadang sunyi. Tapi malam itu berbeda—suara petikan gitar terdengar dari
kontrakan sebelah.
Aku buka jendela, pelan. Di bawah lampu kuning remang teras,
Dodo duduk bersila sambil memetik gitar. Nadanya familiar: lagu lama Ebiet G.
Ade, "Berita Kepada Kawan." Suaranya dalam, serak, tapi enak
didengar.
Tanpa sadar aku ikut nyanyi, pelan dari balik jendela.
Dodo berhenti main. “Eh, suara siapa tuh?”
Aku keluar, malu-malu. “Maaf, aku ikut nyanyi.”
“Wah gila, suara kamu bening juga. Ayo duduk sini.”
Malam itu kami nyanyi bareng. Dari lagu-lagu lawas sampai
pop yang lagi viral. Dodo heran kenapa aku tahu banyak lagu.
“Dulu di kampung sering ikut lomba nyanyi. Tapi ya, cuma
sebatas panggung 17-an,” kataku.
“Wah, sama bro! Aku juga. Bahkan pernah nyanyi pas kawinan
tetangga. Dapat nasi kotak sama amplop lima ribu,” katanya sambil tertawa.
Sejak malam itu, kami rutin main musik bareng. Kadang di
teras kontrakan, kadang di taman kampus. Aku jadi penyanyi, Dodo main gitar.
Musik menyatukan kami dalam satu ruang yang sama: ruang
untuk lupa sebentar dari masalah rumah, kuliah, dan hidup yang belum tentu.
Suatu malam, setelah nyanyi lagu “Bento” dengan
semangat, Dodo diam sebentar lalu berkata,
“Kadang aku pikir, hidup ini kayak lagu. Ada bagian pelan,
ada bagian keras. Tapi kalau kita main bareng, semuanya bisa enak didengar.”
Aku cuma mengangguk. Dalam diam, aku bersyukur—di tengah
kota yang asing, Tuhan kirimkan sahabat satu frekuensi.
Hari pertama kuliah. Gedung itu
tinggi, tiga lantai, dan namanya tertulis di dinding: Fakultas Adab dan
Humaniora. Aku berdiri agak canggung di depan ruang 3.4, menyeka peluh yang
merembes dari pelipis.
Di dalam, mahasiswa lain tampak
percaya diri. Beberapa berpeci, sebagian perempuan berjilbab rapi. Aku duduk di
pojok belakang. Tas ranselku lusuh, isinya cuma buku tulis baru, satu pulpen,
dan air mineral.
“Assalamu’alaikum,” suara dosen
membuka pertemuan.
“Wa’alaikum salam,” sahut kami.
Namanya Bu Naila, mata tajam,
pembawaannya tenang. Ia mulai bicara tentang pentingnya memahami sejarah
peradaban Islam sebagai fondasi berpikir kritis.
Lalu ia tanya, “Siapa di sini yang
tahu perbedaan antara Dinasti Abbasiyah dan Umayyah?”
Semua diam.
Tanganku hampir terangkat, tapi
ragu. Aku ingat sedikit, dari buku pelajaran dulu. Tapi takut salah.
“Yang dari SMK mana?” tanya Bu Naila
tiba-tiba, matanya menelusur ruangan.
Perlahan aku angkat tangan. “Saya,
Bu.”
“Jurusan apa sebelumnya?”
“Akuntansi, Bu.”
Ia tersenyum. “Wah, langka ya. Tapi
jangan minder. Justru kamu akan bawa sudut pandang lain.”
Aku mengangguk. Deg-degan, tapi
merasa dihargai.
Setelah kelas bubar, ada satu teman
menghampiri. Namanya Halim, alumni pesantren dari OKU Timur. Ia ramah,
ngajak makan bareng.
“Kalau mau, aku bisa pinjemin kamu
buku-buku dasar sejarah Islam. Di kampus ini, kita saling bantu,” katanya.
Hari itu aku pulang dengan kepala
berat tapi hati ringan. Di dalam ruang kuliah yang asing itu, pelan-pelan aku
menemukan tempatku.
Hari Jumat sore, Halim mengajakku
ikut kajian mingguan di masjid kampus. Ia bilang, “Ini bukan wajib kok,
tapi bagus buat nambah ilmu. Sekalian kenalan sama senior-senior.”
Aku mengangguk saja. Dalam hati masih bimbang. Apa aku bisa paham? Apa aku akan
terlihat bodoh?
Masjid kampus megah, pendinginnya
dingin sekali, tapi telapak tanganku tetap berkeringat. Kami duduk di saf
belakang. Di depan, seorang mahasiswa berpeci dan berjenggot rapi mulai
berbicara.
“Teman-teman, hari ini kita bahas kitab
Ta'lim Muta'allim, tentang adab menuntut ilmu…”
Aku bengong. Kitab apa itu?
Setelah salam pembuka, ia membaca
dari kitab kecil bersampul kuning lusuh. Bahasanya campur Arab dan Indonesia.
Sebagian peserta manggut-manggut, ada yang mencatat cepat. Aku? Bingung.
“Kata penulis kitab, ilmu tidak akan
masuk ke hati yang sombong. Maka bersihkan hatimu, rendahkan egomu.”
Kalimat itu menancap. Mungkin memang
itu yang aku butuhkan sekarang—kerendahan hati untuk belajar dari awal.
Halim menoleh ke arahku. “Paham
gak?”
Aku senyum kecut. “Setengah.”
Dia terkekeh. “Gak apa-apa, aku juga
gitu waktu pertama kali. Nanti kita bahas bareng. Yang penting datang dulu,
ngerti belakangan.”
Setelah kajian, aku pulang membawa
dua hal: kitab fotokopian yang Halim pinjamkan, dan rasa penasaran baru.
Ini dunia yang belum kukenal sepenuhnya. Tapi entah kenapa, aku ingin lebih
dalam.
Malam itu, setelah pulang dari
kajian, aku duduk di pojok kontrakan, membuka kitab fotokopian yang berat di
tanganku. Huruf Arab bercampur tulisan latin membuatku pusing. Aku coba baca
satu kalimat, tapi lidah seperti kelu.
“Doni, butuh bantuan?” suara lembut
tiba-tiba terdengar dari pintu.
Aku menoleh. Di sana berdiri
Sidarta, teman seangkatan yang kukenal dari kelas tadi siang. Wajahnya ramah,
dengan senyum yang membuat suasana sedikit lebih ringan.
“Eh, Sid. Iya nih, aku lagi coba
baca kitab ini tapi susah banget,” jawabku jujur.
Sidarta masuk, duduk di sampingku,
dan membuka kitab itu bersama-sama.
“Ini bukan hal mudah, Don. Aku juga
waktu awal masuk sempat bingung. Tapi kita bisa pelajari sedikit demi sedikit,”
ujarnya sambil menunjuk bagian awal kitab.
Ia menjelaskan arti kata-kata Arab
yang sulit, kemudian melafalkan bersama-sama pelan-pelan. Aku mulai menangkap
beberapa kalimat.
“Kalau kamu konsisten, insya Allah
lama-lama lancar. Aku juga siap bantu kapan saja.”
Hatiku terasa hangat. Ada teman yang
mau menemani jalanku belajar, yang tidak membuat aku merasa bodoh karena baru
mulai.
Hari-hari berikutnya, kami sering
bertemu untuk belajar bersama. Sidarta sabar dan selalu memberi semangat saat
aku lelah atau bingung.
Bersama Sidarta, aku mulai percaya
bahwa jalan ini bisa kulalui, bukan hanya sebagai kewajiban, tapi sebagai
bagian dari mimpiku yang sedang kugapai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar