Rabu, 21 Mei 2025

Bukan rumah, tapi tempat singgah.

 

Bukan rumah, tapi tempat singgah.



Aku duduk di tepi ranjang, memandangi langit-langit. Rasa lelah dari perjalanan tadi belum hilang, tapi pikiran sudah sibuk membayangkan hari-hari ke depan.

Mamang memanggil dari luar, “Doni, kamu sudah makan belum? Ayo kita makan bareng. Mumpung nasinya masih hangat.”

Aku keluar, duduk di lantai bersama Mamang. Kami makan diam-diam, hanya suara sendok dan kipas angin yang menemani.

Di sela makan, Mamang berkata, “Kalau kamu mau tinggal di sini, kamu juga harus bantu-bantu dikit, ya. Bersih-bersih, belanja, kadang jagain rumah kalau aku ke luar kota.”

Aku mengangguk. “Iya, Mang. Aku ngerti.”

Tapi dalam hati, ada bisikan kecil. Apa benar ini cuma kebaikan semata? Atau Mamang punya maksud lain?

Malam itu, aku tidur di kamar baru. Tapi mata tak kunjung bisa terpejam. Lampu gang di luar memantul lewat jendela, dan suara motor masih terdengar sesekali.

Palembang, aku sudah kembali. Tapi kali ini, aku tak sekadar datang—aku akan bertahan.

Suara tawa dan obrolan keras terdengar dari sebelah rumah Mamang. Sudah dari tadi siang begitu, dan makin sore makin ramai. Kadang terdengar suara orang menyanyi, kadang suara piring jatuh. Aku intip dari balik jendela—rupanya tetangga sebelah sedang kumpul keluarga besar.

Kata Mamang, mereka orang Pagaralam. Satu keluarga tinggal di kontrakan sempit itu, tapi rasanya seperti sepuluh rumah yang digabung jadi satu.

Sore itu, aku membuka pintu untuk membuang sampah. Pas pintu terbuka, aku hampir bertabrakan dengan seorang cowok seusia aku. Badannya tinggi besar, pakai kaos bola dan sandal jepit.

“Wah, maaf,” kataku buru-buru sambil mundur.

“Santai, bro,” katanya sambil senyum. “Eh, kamu orang Lintang ya?”

Aku kaget. “Iya. Kok tahu?”

Dia tertawa. “Wajahmu kampung banget, hahaha. Tapi keren-keren. Aku juga orang Pagaralam. Mirip-mirip lah, sama-sama dari atas gunung turun ke kota.”

Aku ikut tertawa. “Iya juga. Jadi kamu yang sering ribut di sebelah?”

“Nah itu, salahin emak dan tante-tanteku. Kalau ngumpul kayak pasar malam,” kata Dodo sambil mengangkat bahu.

Sejak pertemuan itu, aku dan Dodo sering saling sapa. Kadang ngobrol di depan kontrakan, kadang saling lempar makanan kalau lagi ada lebih. Walau awalnya aku pikir dia cuma cowok asal-asalan, ternyata Dodo banyak tahu soal kota ini—bahkan tahu cara hemat hidup mahasiswa.

“Kalau mau beli lauk murah, ke warung Mak Niah belakang kampus. Jangan ke warteg depan, itu khusus mahasiswa sok kaya,” katanya suatu malam.

Aku tertawa. “Oke, noted.”

Lingkungan kontrakan Mamang makin terasa hidup. Meski kadang bising dan bikin kepala cenat-cenut, tapi perlahan aku merasa tidak sendiri. Ada yang bisa diajak ngobrol, bercanda, dan mungkin—belajar bersama menghadapi kerasnya Palembang.

Malam di Palembang kadang gerah, kadang sunyi. Tapi malam itu berbeda—suara petikan gitar terdengar dari kontrakan sebelah.

Aku buka jendela, pelan. Di bawah lampu kuning remang teras, Dodo duduk bersila sambil memetik gitar. Nadanya familiar: lagu lama Ebiet G. Ade, "Berita Kepada Kawan." Suaranya dalam, serak, tapi enak didengar.

Tanpa sadar aku ikut nyanyi, pelan dari balik jendela.

Dodo berhenti main. “Eh, suara siapa tuh?”

Aku keluar, malu-malu. “Maaf, aku ikut nyanyi.”

“Wah gila, suara kamu bening juga. Ayo duduk sini.”

Malam itu kami nyanyi bareng. Dari lagu-lagu lawas sampai pop yang lagi viral. Dodo heran kenapa aku tahu banyak lagu.

“Dulu di kampung sering ikut lomba nyanyi. Tapi ya, cuma sebatas panggung 17-an,” kataku.

“Wah, sama bro! Aku juga. Bahkan pernah nyanyi pas kawinan tetangga. Dapat nasi kotak sama amplop lima ribu,” katanya sambil tertawa.

Sejak malam itu, kami rutin main musik bareng. Kadang di teras kontrakan, kadang di taman kampus. Aku jadi penyanyi, Dodo main gitar.

Musik menyatukan kami dalam satu ruang yang sama: ruang untuk lupa sebentar dari masalah rumah, kuliah, dan hidup yang belum tentu.

Suatu malam, setelah nyanyi lagu “Bento” dengan semangat, Dodo diam sebentar lalu berkata,

“Kadang aku pikir, hidup ini kayak lagu. Ada bagian pelan, ada bagian keras. Tapi kalau kita main bareng, semuanya bisa enak didengar.”

Aku cuma mengangguk. Dalam diam, aku bersyukur—di tengah kota yang asing, Tuhan kirimkan sahabat satu frekuensi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Hari pertama kuliah. Gedung itu tinggi, tiga lantai, dan namanya tertulis di dinding: Fakultas Adab dan Humaniora. Aku berdiri agak canggung di depan ruang 3.4, menyeka peluh yang merembes dari pelipis.

Di dalam, mahasiswa lain tampak percaya diri. Beberapa berpeci, sebagian perempuan berjilbab rapi. Aku duduk di pojok belakang. Tas ranselku lusuh, isinya cuma buku tulis baru, satu pulpen, dan air mineral.

“Assalamu’alaikum,” suara dosen membuka pertemuan.

“Wa’alaikum salam,” sahut kami.

Namanya Bu Naila, mata tajam, pembawaannya tenang. Ia mulai bicara tentang pentingnya memahami sejarah peradaban Islam sebagai fondasi berpikir kritis.

Lalu ia tanya, “Siapa di sini yang tahu perbedaan antara Dinasti Abbasiyah dan Umayyah?”

Semua diam.

Tanganku hampir terangkat, tapi ragu. Aku ingat sedikit, dari buku pelajaran dulu. Tapi takut salah.

“Yang dari SMK mana?” tanya Bu Naila tiba-tiba, matanya menelusur ruangan.

Perlahan aku angkat tangan. “Saya, Bu.”

“Jurusan apa sebelumnya?”

“Akuntansi, Bu.”

Ia tersenyum. “Wah, langka ya. Tapi jangan minder. Justru kamu akan bawa sudut pandang lain.”

Aku mengangguk. Deg-degan, tapi merasa dihargai.

Setelah kelas bubar, ada satu teman menghampiri. Namanya Halim, alumni pesantren dari OKU Timur. Ia ramah, ngajak makan bareng.

“Kalau mau, aku bisa pinjemin kamu buku-buku dasar sejarah Islam. Di kampus ini, kita saling bantu,” katanya.

Hari itu aku pulang dengan kepala berat tapi hati ringan. Di dalam ruang kuliah yang asing itu, pelan-pelan aku menemukan tempatku.

Hari Jumat sore, Halim mengajakku ikut kajian mingguan di masjid kampus. Ia bilang, “Ini bukan wajib kok, tapi bagus buat nambah ilmu. Sekalian kenalan sama senior-senior.”
Aku mengangguk saja. Dalam hati masih bimbang. Apa aku bisa paham? Apa aku akan terlihat bodoh?

Masjid kampus megah, pendinginnya dingin sekali, tapi telapak tanganku tetap berkeringat. Kami duduk di saf belakang. Di depan, seorang mahasiswa berpeci dan berjenggot rapi mulai berbicara.

“Teman-teman, hari ini kita bahas kitab Ta'lim Muta'allim, tentang adab menuntut ilmu…”

Aku bengong. Kitab apa itu?

Setelah salam pembuka, ia membaca dari kitab kecil bersampul kuning lusuh. Bahasanya campur Arab dan Indonesia. Sebagian peserta manggut-manggut, ada yang mencatat cepat. Aku? Bingung.

“Kata penulis kitab, ilmu tidak akan masuk ke hati yang sombong. Maka bersihkan hatimu, rendahkan egomu.”

Kalimat itu menancap. Mungkin memang itu yang aku butuhkan sekarang—kerendahan hati untuk belajar dari awal.

Halim menoleh ke arahku. “Paham gak?”

Aku senyum kecut. “Setengah.”

Dia terkekeh. “Gak apa-apa, aku juga gitu waktu pertama kali. Nanti kita bahas bareng. Yang penting datang dulu, ngerti belakangan.”

Setelah kajian, aku pulang membawa dua hal: kitab fotokopian yang Halim pinjamkan, dan rasa penasaran baru. Ini dunia yang belum kukenal sepenuhnya. Tapi entah kenapa, aku ingin lebih dalam.

Malam itu, setelah pulang dari kajian, aku duduk di pojok kontrakan, membuka kitab fotokopian yang berat di tanganku. Huruf Arab bercampur tulisan latin membuatku pusing. Aku coba baca satu kalimat, tapi lidah seperti kelu.

“Doni, butuh bantuan?” suara lembut tiba-tiba terdengar dari pintu.

Aku menoleh. Di sana berdiri Sidarta, teman seangkatan yang kukenal dari kelas tadi siang. Wajahnya ramah, dengan senyum yang membuat suasana sedikit lebih ringan.

“Eh, Sid. Iya nih, aku lagi coba baca kitab ini tapi susah banget,” jawabku jujur.

Sidarta masuk, duduk di sampingku, dan membuka kitab itu bersama-sama.

“Ini bukan hal mudah, Don. Aku juga waktu awal masuk sempat bingung. Tapi kita bisa pelajari sedikit demi sedikit,” ujarnya sambil menunjuk bagian awal kitab.

Ia menjelaskan arti kata-kata Arab yang sulit, kemudian melafalkan bersama-sama pelan-pelan. Aku mulai menangkap beberapa kalimat.

“Kalau kamu konsisten, insya Allah lama-lama lancar. Aku juga siap bantu kapan saja.”

Hatiku terasa hangat. Ada teman yang mau menemani jalanku belajar, yang tidak membuat aku merasa bodoh karena baru mulai.

Hari-hari berikutnya, kami sering bertemu untuk belajar bersama. Sidarta sabar dan selalu memberi semangat saat aku lelah atau bingung.

Bersama Sidarta, aku mulai percaya bahwa jalan ini bisa kulalui, bukan hanya sebagai kewajiban, tapi sebagai bagian dari mimpiku yang sedang kugapai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

https://www.wattpad.com/1551151399-guru-pembeku-senyum-bab-pertama-kedatangan-di