Selasa, 20 Mei 2025

Kali Ini Beda

 

Kali ini berbeda.

Dulu aku naik bus dengan rasa penasaran, seperti anak kampung yang mau berpetualang. Sekarang, aku kembali ke kota membawa titipan harapan. Harapan Ayah. Harapan Ibu. Harapan bahwa hidup ini bisa berubah arah, walau pelan-pelan.

Kupandangi sawah yang makin jauh tertinggal di balik kaca. Ladang kopi, rumah-rumah panggung, semua makin kecil dan samar.

“Kalau kopi berbuah lebat itu suatu keberuntungan... tapi itu khayalan tingkat tinggi,” suara Ayah kembali terngiang.

Aku menarik napas panjang.

Di kantong celanaku, ponsel bergetar. Sebuah pesan dari Kakakku di Jakarta.

“Selamat ya, Don. Dengar-dengar kamu lulus IAIN. Keren! Nanti kalau liburan ke Jakarta, kabarin. Kita ngobrol soal masa depan.”

Aku tersenyum tipis. Keluarga kami memang tidak sering mengekspresikan kasih sayang, tapi pesan singkat itu seperti dukungan yang diam-diam menyalakan semangat baru.

Mataku mulai berat. Jalanan berliku membuatku sedikit pusing. Tapi sebelum tertidur, aku sempat berpikir: Bagaimana hidupku akan berubah mulai hari ini? Siapa yang akan kutemui? Apakah aku bisa bertahan?

Lalu... gelap. Bus melaju, dan aku terlelap bersama mimpi yang belum selesai kurangkai.

Sore menjelang saat aku tiba di Palembang. Langit berwarna abu-abu keemasan, angin membawa debu dan suara bising kota. Dari terminal, aku naik angkot menuju alamat yang diberi Mamang—sebuah rumah di gang sempit, tak jauh dari pasar tradisional yang masih ramai.

Rumahnya tidak besar, tapi cukup rapi. Pagar besi warna hijau kusam berdiri di depan teras sempit. Ada jemuran kain batik dan sehelai handuk bergoyang tertiup angin. Aku ragu mengetuk pintu.

Tok tok tok.

“Masuk, Doni! Sudah kutunggu dari tadi,” suara Mamang terdengar dari dalam.

Aku melangkah pelan. Mamang menyambut dengan senyum lebar, pakai sarung dan kaus oblong lusuh. Di tangannya, ada cangkir kopi. Aromanya langsung mengingatkanku pada rumah.

“Kamu bawa apa aja?” tanya Mamang sambil membantu menurunkan tasku.

“Sedikit, Mang. Pakaian, buku. Ibu nitip rendang.”

Mamang tertawa kecil. “Wah, nanti kita makan bareng. Kamar kamu di belakang. Itu dulunya kamar kosong tempat nyimpan barang, sekarang sudah kubersihin.”

Aku mengangguk dan masuk ke kamar itu. Ruangannya sempit, ada ranjang kecil, meja belajar, dan kipas angin berdengung pelan. Dindingnya belum dicat ulang—masih penuh tempelan kalender lama dan poster jadul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

https://www.wattpad.com/1551151399-guru-pembeku-senyum-bab-pertama-kedatangan-di