Kali ini berbeda.
Dulu aku naik bus dengan rasa
penasaran, seperti anak kampung yang mau berpetualang. Sekarang, aku kembali ke
kota membawa titipan harapan. Harapan Ayah. Harapan Ibu. Harapan bahwa hidup
ini bisa berubah arah, walau pelan-pelan.
Kupandangi sawah yang makin jauh
tertinggal di balik kaca. Ladang kopi, rumah-rumah panggung, semua makin kecil
dan samar.
“Kalau kopi berbuah lebat itu suatu
keberuntungan... tapi itu khayalan tingkat tinggi,” suara Ayah kembali terngiang.
Aku menarik napas panjang.
Di kantong celanaku, ponsel
bergetar. Sebuah pesan dari Kakakku di Jakarta.
“Selamat ya, Don. Dengar-dengar kamu
lulus IAIN. Keren! Nanti kalau liburan ke Jakarta, kabarin. Kita ngobrol soal
masa depan.”
Aku tersenyum tipis. Keluarga kami
memang tidak sering mengekspresikan kasih sayang, tapi pesan singkat itu
seperti dukungan yang diam-diam menyalakan semangat baru.
Mataku mulai berat. Jalanan berliku
membuatku sedikit pusing. Tapi sebelum tertidur, aku sempat berpikir: Bagaimana
hidupku akan berubah mulai hari ini? Siapa yang akan kutemui? Apakah aku bisa
bertahan?
Lalu... gelap. Bus melaju, dan aku
terlelap bersama mimpi yang belum selesai kurangkai.
Sore menjelang saat aku tiba di
Palembang. Langit berwarna abu-abu keemasan, angin membawa debu dan suara
bising kota. Dari terminal, aku naik angkot menuju alamat yang diberi
Mamang—sebuah rumah di gang sempit, tak jauh dari pasar tradisional yang masih
ramai.
Rumahnya tidak besar, tapi cukup
rapi. Pagar besi warna hijau kusam berdiri di depan teras sempit. Ada jemuran
kain batik dan sehelai handuk bergoyang tertiup angin. Aku ragu mengetuk pintu.
Tok tok tok.
“Masuk, Doni! Sudah kutunggu dari
tadi,” suara Mamang terdengar dari dalam.
Aku melangkah pelan. Mamang
menyambut dengan senyum lebar, pakai sarung dan kaus oblong lusuh. Di
tangannya, ada cangkir kopi. Aromanya langsung mengingatkanku pada rumah.
“Kamu bawa apa aja?” tanya Mamang
sambil membantu menurunkan tasku.
“Sedikit, Mang. Pakaian, buku. Ibu
nitip rendang.”
Mamang tertawa kecil. “Wah, nanti
kita makan bareng. Kamar kamu di belakang. Itu dulunya kamar kosong tempat
nyimpan barang, sekarang sudah kubersihin.”
Aku mengangguk dan masuk ke kamar
itu. Ruangannya sempit, ada ranjang kecil, meja belajar, dan kipas angin
berdengung pelan. Dindingnya belum dicat ulang—masih penuh tempelan kalender
lama dan poster jadul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar