Selasa, 20 Mei 2025

ALASAN DONI KULIAH

Alasan Doni Kuliah (BAB II)

 

            Saat melihat pengumuman, dan namaku tercantum di antara yang lulus, aku bergegas menelpon kampung halaman.

“Yah... anakmu lulus. Aku keterima kuliah,” kataku dengan suara gemetar menahan haru.

Di seberang, suara Ayah terdengar bahagia. “Ya sudah... sekarang kamu pulang dulu ke kampung.”  Aku terbangun oleh aroma pisang goreng yang hangat dan harum kopi dari dapur.

Di atas meja, ibu sudah menyiapkan sarapan sederhana itu—pisang goreng dan secangkir kopi hitam.

“Doni, cuci muka dulu... ke kamar mandi sana,” kata ibu lembut.

Aku mengangguk sambil menguap kecil.

“Gimana perjalanan semalam?” tanya Ayah yang duduk di ruang depan.

Aku duduk, memegang cangkir kopi yang masih hangat. Menghirup perlahan.

Diam sejenak. Lalu mengangguk sambil menatap wajah ayah.

Wajah itu penuh semangat. Matanya bersinar. Seolah semua kerja kerasnya di ladang, dan semua harapannya selama ini, kini mulai melihat jalan. Jalan itu adalah aku.

Malam di kampung sunyi. Hanya suara jangkrik dan sesekali angin menyapu pepohonan di belakang rumah. Aku dan ayah duduk di beranda, cahaya lampu dari ruang tamu menyinari kami samar-samar.

Di tangan ayah, segelas kopi hitam yang sudah tinggal setengah. Ia mengisap rokok kretek pelan-pelan, lalu meniupkan asap ke udara.

“Kamu senang, ya?” tanyanya akhirnya, tanpa menatapku.

Aku mengangguk pelan. “Senang, Yah. Tapi juga takut.”

Ayah tersenyum kecil. “Takut itu biasa. Tapi jangan berhenti karena takut.”

Aku menatapnya. “Yah, kuliah itu mahal. Aku tahu penghasilan Ayah dari ladang tidak selalu pasti. Aku gak mau jadi beban.”

Ia tertawa pelan, getir tapi hangat. “Nak... kamu tahu nggak? Dulu, waktu kamu masih kecil, Ayah pernah duduk di tempat ini, mikir, ‘Kalau bisa, anak ini jangan jadi petani kayak aku.’”

“Kenapa?” tanyaku pelan.

“Bukan karena malu. Tapi karena Ayah tahu... kerja keras kadang kalah sama keadaan. Ayah ingin kamu punya pilihan. Punya ilmu. Bisa bicara di depan orang, bukan cuma di ladang. Biar kamu punya masa depan yang kamu pilih sendiri.”

Aku menunduk. Tiba-tiba mataku panas.

“Kalau soal biaya,” lanjutnya, “biar Ayah yang pikirkan. Kamu cukup belajar sungguh-sungguh. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Jangan bikin Ayah kerja sia-sia.”

Aku hanya bisa mengangguk. Di gelapnya malam itu, tanpa banyak kata, aku tahu: beban di pundakku bukan sekadar kuliah. Tapi juga mimpi seorang ayah yang sederhana, yang selama ini disimpan diam-diam.

“Yah... waktu di terminal aku ketemu Mamang.”

Belum sempat lanjut bicara, Ayah sudah memotong cepat, “Oiya? Apa katanya Mamang? Dia nawarin apa ke kamu?”

Aku terdiam. Dalam hati, aku merasa Ayah seperti sudah tahu arah pembicaraanku, bahkan sebelum aku buka mulut.

Perlahan aku menarik napas dan menghembuskannya. “Mamang bilang... dia nawarin rumahnya di Palembang buat aku tinggal.”

“Terus?” sahut Ayah, tak sabar.

“Dia bilang, supaya ada yang nyambut dia kalau datang ke Palembang.”

Aku menatap Ayah penasaran. “Yah, Mamang itu siapa sih sebenarnya? Pekerjaannya apa? Dan... dia itu siapa buat Ayah?”

Ayah menghirup kopinya yang tinggal setengah. Pandangannya lurus ke depan. Ia menggaruk lengannya yang barusan digigit nyamuk.

“Dia itu penjual emas keliling. Biasanya jualan di kalangan... kamu tahu kan, pasar kecil yang cuma ada di hari-hari tertentu? Bibimu juga jualan emas di sana. Mereka sering berdagang bersebelahan.”

Ayah diam sebentar, lalu berkata pelan, “Kebetulan bibimu itu janda, dan Mamang itu duda. Sepertinya... dia ada niat melamar bibi. Kayaknya sih.”

Aku heran. “Terus... apa hubungannya dia nawarin aku rumah?”

Ayah tak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas. “Mamang itu baik banget sama Ayah. Entah karena dia memang tulus... atau ada maksud tertentu.”

Aku nyeletuk, “Ya bisa aja, Yah. Orang yang punya maksud, biasanya cari cara biar kelihatan baik dulu.”

Ayah tertawa. “Alah... sok tahu kamu. Kamu itu belum paham soal cinta. Masih bau kencur.”

Aku mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

“Buktinya, selama ini kamu belum pernah bawa cewek ke rumah. Yang datang teman cowok semua. Hah, dasar bocah.”

Aku hanya diam. Dalam hati mengeluh: Lain yang kutanya, lain yang dijawab.

sudah larut, tidurlah, sayangi badanmu beri kesempatan matamu untuk istirahat. Besok kan pagi pagi kan mau bernagkat. Aku bergegas untuk tidur.

Pagi itu, embun masih menggantung di daun kopi yang tumbuh di belakang rumah. Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Tas ranselku sudah kugantungkan di dekat pintu sejak semalam. Isinya hanya beberapa lembar pakaian, buku catatan, dan satu kenangan: sebuah foto kecil keluarga, diselipkan diam-diam oleh ibu ke dalam dompetku.

Ibu menyiapkan sarapan. Ayah duduk di bangku panjang sambil menyeruput kopi. Tidak banyak bicara pagi itu. Seperti ada yang menahan di dada kami masing-masing.

“Jangan sering-sering pulang dulu, fokus kuliah,” kata Ayah pelan, tanpa menatapku. “Kalau ada apa-apa, telepon saja.” Aku mengangguk. “Iya, Yah.”

“Jangan kebanyakan mikir yang aneh-aneh. Di sana itu bukan cuma butuh otak, tapi butuh hati yang kuat,” sambung Ayah lagi.

Ibu menyelipkan satu bungkusan kain ke dalam tasku. “Ini rendang, buat bekalmu di sana. Sama sambal terasi kesukaanmu.”

Aku menunduk. “Makasih, Bu.”

Saat aku pamit dan mencium tangan mereka, aku merasa ada sesuatu yang tertinggal. Bukan barang, tapi rasa—rasa aman yang hanya ada di kampung.

Bus ekonomi pagi itu tak seramai biasanya. Tapi tetap saja, suara klakson, pedagang asongan, dan obrolan penumpang menyatu jadi satu irama yang khas. Aku duduk di dekat jendela, membiarkan angin dari kaca yang sedikit terbuka menampar wajahku pelan-pelan.

Di pangkuanku, ransel yang berisi bungkusan dari Ibu. Tapi yang terasa berat bukan tasnya, melainkan pikiranku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

https://www.wattpad.com/1551151399-guru-pembeku-senyum-bab-pertama-kedatangan-di