Alasan Doni Kuliah (BAB II)
Saat
melihat pengumuman, dan namaku tercantum di antara yang lulus, aku bergegas
menelpon kampung halaman.
“Yah... anakmu lulus. Aku keterima kuliah,” kataku dengan
suara gemetar menahan haru.
Di seberang, suara Ayah terdengar bahagia. “Ya sudah...
sekarang kamu pulang dulu ke kampung.” Aku
terbangun oleh aroma pisang goreng yang hangat dan harum kopi dari dapur.
Di atas meja, ibu sudah menyiapkan sarapan sederhana
itu—pisang goreng dan secangkir kopi hitam.
“Doni, cuci muka dulu... ke kamar mandi sana,” kata ibu
lembut.
Aku mengangguk sambil menguap kecil.
“Gimana perjalanan semalam?” tanya Ayah yang duduk di ruang
depan.
Aku duduk, memegang cangkir kopi yang masih hangat. Menghirup
perlahan.
Diam sejenak. Lalu mengangguk sambil menatap wajah ayah.
Wajah itu penuh semangat. Matanya bersinar. Seolah semua
kerja kerasnya di ladang, dan semua harapannya selama ini, kini mulai melihat
jalan. Jalan itu adalah aku.
Malam di kampung sunyi. Hanya suara jangkrik dan sesekali
angin menyapu pepohonan di belakang rumah. Aku dan ayah duduk di beranda,
cahaya lampu dari ruang tamu menyinari kami samar-samar.
Di tangan ayah, segelas kopi hitam yang sudah tinggal
setengah. Ia mengisap rokok kretek pelan-pelan, lalu meniupkan asap ke udara.
“Kamu senang, ya?” tanyanya akhirnya, tanpa menatapku.
Aku mengangguk pelan. “Senang, Yah. Tapi juga takut.”
Ayah tersenyum kecil. “Takut itu biasa. Tapi jangan berhenti
karena takut.”
Aku menatapnya. “Yah, kuliah itu mahal. Aku tahu penghasilan
Ayah dari ladang tidak selalu pasti. Aku gak mau jadi beban.”
Ia tertawa pelan, getir tapi hangat. “Nak... kamu tahu
nggak? Dulu, waktu kamu masih kecil, Ayah pernah duduk di tempat ini, mikir,
‘Kalau bisa, anak ini jangan jadi petani kayak aku.’”
“Kenapa?” tanyaku pelan.
“Bukan karena malu. Tapi karena Ayah tahu... kerja keras
kadang kalah sama keadaan. Ayah ingin kamu punya pilihan. Punya ilmu. Bisa
bicara di depan orang, bukan cuma di ladang. Biar kamu punya masa depan yang
kamu pilih sendiri.”
Aku menunduk. Tiba-tiba mataku panas.
“Kalau soal biaya,” lanjutnya, “biar Ayah yang pikirkan.
Kamu cukup belajar sungguh-sungguh. Jangan sia-siakan kesempatan ini. Jangan
bikin Ayah kerja sia-sia.”
Aku hanya bisa mengangguk. Di gelapnya malam itu, tanpa
banyak kata, aku tahu: beban di pundakku bukan sekadar kuliah. Tapi juga mimpi
seorang ayah yang sederhana, yang selama ini disimpan diam-diam.
“Yah... waktu di terminal aku ketemu Mamang.”
Belum sempat lanjut bicara, Ayah sudah memotong cepat,
“Oiya? Apa katanya Mamang? Dia nawarin apa ke kamu?”
Aku terdiam. Dalam hati, aku merasa Ayah seperti sudah tahu
arah pembicaraanku, bahkan sebelum aku buka mulut.
Perlahan aku menarik napas dan menghembuskannya. “Mamang
bilang... dia nawarin rumahnya di Palembang buat aku tinggal.”
“Terus?” sahut Ayah, tak sabar.
“Dia bilang, supaya ada yang nyambut dia kalau datang ke
Palembang.”
Aku menatap Ayah penasaran. “Yah, Mamang itu siapa sih
sebenarnya? Pekerjaannya apa? Dan... dia itu siapa buat Ayah?”
Ayah menghirup kopinya yang tinggal setengah. Pandangannya
lurus ke depan. Ia menggaruk lengannya yang barusan digigit nyamuk.
“Dia itu penjual emas keliling. Biasanya jualan di
kalangan... kamu tahu kan, pasar kecil yang cuma ada di hari-hari tertentu?
Bibimu juga jualan emas di sana. Mereka sering berdagang bersebelahan.”
Ayah diam sebentar, lalu berkata pelan, “Kebetulan bibimu
itu janda, dan Mamang itu duda. Sepertinya... dia ada niat melamar bibi.
Kayaknya sih.”
Aku heran. “Terus... apa hubungannya dia nawarin aku rumah?”
Ayah tak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas. “Mamang
itu baik banget sama Ayah. Entah karena dia memang tulus... atau ada maksud
tertentu.”
Aku nyeletuk, “Ya bisa aja, Yah. Orang yang punya maksud,
biasanya cari cara biar kelihatan baik dulu.”
Ayah tertawa. “Alah... sok tahu kamu. Kamu itu belum paham
soal cinta. Masih bau kencur.”
Aku mengerutkan dahi. “Maksudnya?”
“Buktinya, selama ini kamu belum pernah bawa cewek ke rumah.
Yang datang teman cowok semua. Hah, dasar bocah.”
Aku hanya diam. Dalam hati mengeluh: Lain yang kutanya,
lain yang dijawab.
sudah larut, tidurlah, sayangi badanmu beri kesempatan
matamu untuk istirahat. Besok kan pagi pagi kan mau bernagkat. Aku bergegas
untuk tidur.
Pagi itu, embun masih menggantung di daun kopi yang tumbuh
di belakang rumah. Aku bangun lebih pagi dari biasanya. Tas ranselku sudah
kugantungkan di dekat pintu sejak semalam. Isinya hanya beberapa lembar
pakaian, buku catatan, dan satu kenangan: sebuah foto kecil keluarga,
diselipkan diam-diam oleh ibu ke dalam dompetku.
Ibu menyiapkan sarapan. Ayah duduk di bangku panjang sambil
menyeruput kopi. Tidak banyak bicara pagi itu. Seperti ada yang menahan di dada
kami masing-masing.
“Jangan sering-sering pulang dulu, fokus kuliah,” kata Ayah
pelan, tanpa menatapku. “Kalau ada apa-apa, telepon saja.” Aku mengangguk.
“Iya, Yah.”
“Jangan kebanyakan mikir yang aneh-aneh. Di sana itu bukan
cuma butuh otak, tapi butuh hati yang kuat,” sambung Ayah lagi.
Ibu menyelipkan satu bungkusan kain ke dalam tasku. “Ini
rendang, buat bekalmu di sana. Sama sambal terasi kesukaanmu.”
Aku menunduk. “Makasih, Bu.”
Saat aku pamit dan mencium tangan mereka, aku merasa ada
sesuatu yang tertinggal. Bukan barang, tapi rasa—rasa aman yang hanya ada di
kampung.
Bus ekonomi pagi itu tak seramai
biasanya. Tapi tetap saja, suara klakson, pedagang asongan, dan obrolan
penumpang menyatu jadi satu irama yang khas. Aku duduk di dekat jendela,
membiarkan angin dari kaca yang sedikit terbuka menampar wajahku pelan-pelan.
Di pangkuanku, ransel yang berisi bungkusan dari Ibu. Tapi yang terasa berat bukan tasnya, melainkan pikiranku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar