Panggung
17-an dan Suara Hati Kami
Malam itu, lapangan kecil di tengah
permukiman ramai dengan sorak-sorai. Lampu warna-warni bergelantungan di tali,
anak-anak berlarian, dan ibu-ibu sibuk menyiapkan gorengan di meja panjang.
Acara 17-an antar-RT selalu jadi hiburan paling ditunggu-tunggu. Tapi malam
ini… berbeda. Karena aku dan Dodo ikut lomba karaoke.
“Lu yakin mau bawain Gembala
Cinta?” tanya Dodo sambil menahan tawa.
“Lah kamu bawa lagu Syarmila,
itu lebih melow!” balasku.
Kami berdua tertawa. Tapi jujur,
malam itu kami lepas—nyanyi bukan cuma soal nada, tapi soal meluapkan hidup
yang selama ini kami pendam.
Dodo naik duluan. Dengan gaya
khasnya, dia nyanyi Syarmila pakai gaya patah hati total, tapi di
tengah-tengah lirik dia joget ala dangdut koplo. Penonton pecah! Anak-anak
teriak-teriak, bahkan ibu-ibu ikut berjoget kecil sambil tertawa.
Lalu giliranku. Aku pegang mic
dengan deg-degan. Tapi begitu intro Gembala Cinta mengalun, aku masuk
total ke peran. Tanganku mengepak seolah aku benar-benar penggembala cinta yang
tersesat. Di tengah lagu, Dodo tiba-tiba muncul dari pinggir panggung dan
ikutan goyang.
Penonton meledak. Bahkan panitia
sempat berhenti menulis nilai karena ikut tepuk tangan.
Malam itu, kami bukan cuma dua anak
perantauan yang hidup pas-pasan. Kami jadi bintang.
Ketika pengumuman tiba, namaku
disebut sebagai juara 1, dan Dodo juara 3.
Kami saling tos.
“Woy, kapan lagi kita berdua bikin
panggung pecah kayak tadi,” kata Dodo bangga.
Aku ketawa, “Gak penting juara
berapa, yang penting malam ini kita menangin tawa mereka.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya
setelah sekian lama, kami tertidur dengan hati yang benar-benar lega.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar