MAMANG (Bab 1)
Palembang dikenal luas karena
pempeknya—siapa pun pasti tahu makanan khas ini. Siang itu, matahari terasa
garang, menyorot jalanan dan atap bangunan seperti ingin membakar. Aku duduk di
loket bus MARLIN, salah satu bus langganan orang kampungku. Bus ini akan
membawaku pulang, untuk sejenak meninggalkan riuh kota. Sambil menunggu
keberangkatan, aku merapikan ransel dan menatap jam tangan. Detik terasa
lambat. Tiba-tiba, seorang lelaki tua menghampiriku. Wajahnya kukenal—Mamang,
saudara jauh dari pihak ibu.
“Doni! Katanya kamu mau kuliah ya?”
sapanya sambil tersenyum.
Aku hanya sempat mengangguk kecil.
“Kalau begitu, tidak usah ragu.
Langsung saja tempati rumah Mamang. Jangan bayar apa-apa. Anggap saja rumah
sendiri.”
Aku belum
sempat mengucap sepatah kata pun. Tapi tawaran itu langsung menusuk—hangat,
mengejutkan, dan entah kenapa terasa berat di dada. Kupandangi wajah Mamang.
Keriput di sudut matanya seperti menyimpan cerita panjang yang belum pernah
kuceritakan—dan belum pernah kudengar. Aku ingin bertanya kenapa dia begitu
saja mempercayakanku rumahnya. Tapi mulutku seperti terkunci. Aku hanya bisa
membalas dengan senyum canggung.
Di luar loket,
suara mesin bus menyala. Petugas memanggil penumpang. Tanganku masih
menggenggam tiket, tapi pikiranku sudah melayang—tentang kuliah yang belum
pasti, rumah yang belum aku tempati, dan hidup yang sebentar lagi akan berubah.
Di dalam bus ekonomi yang penuh berbagai aroma—keringat, rokok, nasi
bungkus—semuanya terbawa angin dari jendela yang setengah terbuka. Aku menyandarkan
kepala, membiarkan tubuh terombang-ambing bersama suara mesin dan deru jalanan.
Pikiranku melayang—tentang kuliah, tentang biaya, tentang apakah aku cukup kuat
menjalaninya. Pelan-pelan, mataku terpejam. Aku masuk ke dalam mimpi yang
samar—seperti masa depanku, belum jelas, tapi terasa dekat.
Suasana
berubah. Aku tidak lagi duduk di dalam bus. Tiba-tiba aku berdiri di depan
sebuah kampus besar, bangunannya menjulang tinggi dengan pilar-pilar putih yang
terasa dingin. Di tanganku ada map cokelat berisi dokumen—tapi ketika aku
membuka, semua isinya kosong. Orang-orang berlalu-lalang, wajahnya kabur.
Mereka bicara dalam bahasa yang tidak kupahami. Aku mencoba menyapa satu per
satu, tapi tidak ada yang membalas. Mereka menatapku sebentar, lalu melangkah
pergi, seperti aku tak ada.
Langkahku
berat. Setiap kali aku ingin masuk ke gerbang kampus itu, tanah di bawah kakiku
berubah jadi lumpur. Aku berusaha maju, tapi kakiku tenggelam makin dalam. Map
di tanganku lepas, terbawa angin, melayang tinggi ke langit. Tiba-tiba langit
berubah kelam. Hujan turun, deras. Tapi di tengah hujan, aku mendengar suara.
Lembut. Hangat. Suara Ibu.
"Nak, kau harus kuat. Dunia
memang besar, tapi hatimu lebih luas dari yang kau kira."
Aku menoleh.
Di kejauhan,
kulihat sosok Mamang berdiri di terminal kecil. Ia menyeduh kopi dengan tangan
gemetar, lalu menoleh ke arahku dan tersenyum. Hujan berhenti. Lumpur perlahan
mengering. Di depanku, sebuah bangku kayu muncul. Di atasnya, buku terbuka
dengan halaman-halaman kosong—dan sebuah pena di sampingnya. Seakan menungguku
untuk menulis. Aku melangkah. Tidak mudah, tapi kali ini kakiku tidak
tenggelam. Aku masih belum tahu pasti jurusan apa yang harus kupilih.
Sejak SMK, aku
memendam keinginan untuk masuk jurusan Bahasa Inggris. Tapi aku juga sadar,
kuliah itu tidak murah. Biaya hidup di kota, buku, transportasi—semua butuh
uang. Hatiku bimbang. Keluargaku jauh dari kata berkecukupan. Ayah hanyalah
seorang petani kopi dan padi. Penghasilannya tidak menentu. Kalau panen
berhasil dan kopi berbuah lebat, itu seperti mimpi. Tapi mimpi yang jarang jadi
kenyataan. Aku menarik napas panjang. Satu-satunya penyemangatku:
Ayah. “Kau
harus kuliah,” katanya. “Jangan kau pikirkan biaya. Masa depanmu tidak bisa
dibeli, tapi bisa diraih.” Kadang aku ragu. Bukankah nasib sudah digariskan
Tuhan? Tapi Ayah percaya, aku bisa mengubah garis itu. Dalam hati, aku juga
ingin menyusul kakakku yang sudah lama merantau ke Jakarta. Tiap kali pulang
kampung, mereka tampak sukses, seolah berhasil menaklukkan dunia. Tapi Ayah
tetap kukuh: kuliah. Jalan itu, katanya, bukan hanya untuk diriku. Tapi juga
untuk kami—untuk keluarga ini, untuk harapan yang pernah mereka kubur demi
membesarkanku.
Sudah seminggu
aku tinggal di Palembang. Menumpang di kontrakan sepupu—hanya tidur, makan, dan
diam. Setiap hari, aku merasa seperti beban di tengah keluarga orang. Tak enak
rasanya. Dalam hati, aku mulai yakin: aku harus masuk kuliah negeri. Biayanya
lebih ringan, dan aku tak ingin berlama-lama menggantung hidup di sini.
Aku memilih
IAIN Raden Fatah Palembang. Salah satu kampus negeri yang bisa kujangkau. Aku
memilih Fakultas Adab, jurusan Sejarah Kebudayaan Islam. Bukan asal pilih.
Sejak madrasah tsanawiyah, aku sudah suka pelajaran sejarah Islam. Ada sesuatu
yang menarik—kisah, perjuangan, kebijaksanaan para tokoh masa lalu. Saat aku
menyerahkan berkas pendaftaran, salah satu pegawai menatapku. Ia tersenyum,
setengah ragu.
“Kamu yakin daftar di fakultas ini?”
katanya. “Nanti ada tes baca Al-Qur’an dan wawasan sejarah Islam.”
Aku menatapnya, berusaha tenang.
“Memangnya kenapa, Pak?”
“Kamu lulusan SMK, bukan?”
Aku diam. Tak menjawab. Hanya
mengambil formulir, mengisi semuanya perlahan, lalu berlalu. Beberapa hari
kemudian, hasilnya keluar. Aku dinyatakan lulus. Aku menatap namaku di papan
pengumuman. Rasanya tak percaya. Tapi juga tahu, ini baru langkah pertama.
Bukan akhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar