Selasa, 20 Mei 2025

Mamang

 

MAMANG (Bab 1)



Palembang dikenal luas karena pempeknya—siapa pun pasti tahu makanan khas ini. Siang itu, matahari terasa garang, menyorot jalanan dan atap bangunan seperti ingin membakar. Aku duduk di loket bus MARLIN, salah satu bus langganan orang kampungku. Bus ini akan membawaku pulang, untuk sejenak meninggalkan riuh kota. Sambil menunggu keberangkatan, aku merapikan ransel dan menatap jam tangan. Detik terasa lambat. Tiba-tiba, seorang lelaki tua menghampiriku. Wajahnya kukenal—Mamang, saudara jauh dari pihak ibu.

“Doni! Katanya kamu mau kuliah ya?” sapanya sambil tersenyum.

Aku hanya sempat mengangguk kecil.

“Kalau begitu, tidak usah ragu. Langsung saja tempati rumah Mamang. Jangan bayar apa-apa. Anggap saja rumah sendiri.”

Aku belum sempat mengucap sepatah kata pun. Tapi tawaran itu langsung menusuk—hangat, mengejutkan, dan entah kenapa terasa berat di dada. Kupandangi wajah Mamang. Keriput di sudut matanya seperti menyimpan cerita panjang yang belum pernah kuceritakan—dan belum pernah kudengar. Aku ingin bertanya kenapa dia begitu saja mempercayakanku rumahnya. Tapi mulutku seperti terkunci. Aku hanya bisa membalas dengan senyum canggung.

Di luar loket, suara mesin bus menyala. Petugas memanggil penumpang. Tanganku masih menggenggam tiket, tapi pikiranku sudah melayang—tentang kuliah yang belum pasti, rumah yang belum aku tempati, dan hidup yang sebentar lagi akan berubah. Di dalam bus ekonomi yang penuh berbagai aroma—keringat, rokok, nasi bungkus—semuanya terbawa angin dari jendela yang setengah terbuka. Aku menyandarkan kepala, membiarkan tubuh terombang-ambing bersama suara mesin dan deru jalanan. Pikiranku melayang—tentang kuliah, tentang biaya, tentang apakah aku cukup kuat menjalaninya. Pelan-pelan, mataku terpejam. Aku masuk ke dalam mimpi yang samar—seperti masa depanku, belum jelas, tapi terasa dekat.

Suasana berubah. Aku tidak lagi duduk di dalam bus. Tiba-tiba aku berdiri di depan sebuah kampus besar, bangunannya menjulang tinggi dengan pilar-pilar putih yang terasa dingin. Di tanganku ada map cokelat berisi dokumen—tapi ketika aku membuka, semua isinya kosong. Orang-orang berlalu-lalang, wajahnya kabur. Mereka bicara dalam bahasa yang tidak kupahami. Aku mencoba menyapa satu per satu, tapi tidak ada yang membalas. Mereka menatapku sebentar, lalu melangkah pergi, seperti aku tak ada.

Langkahku berat. Setiap kali aku ingin masuk ke gerbang kampus itu, tanah di bawah kakiku berubah jadi lumpur. Aku berusaha maju, tapi kakiku tenggelam makin dalam. Map di tanganku lepas, terbawa angin, melayang tinggi ke langit. Tiba-tiba langit berubah kelam. Hujan turun, deras. Tapi di tengah hujan, aku mendengar suara. Lembut. Hangat. Suara Ibu.

"Nak, kau harus kuat. Dunia memang besar, tapi hatimu lebih luas dari yang kau kira."

Aku menoleh.

Di kejauhan, kulihat sosok Mamang berdiri di terminal kecil. Ia menyeduh kopi dengan tangan gemetar, lalu menoleh ke arahku dan tersenyum. Hujan berhenti. Lumpur perlahan mengering. Di depanku, sebuah bangku kayu muncul. Di atasnya, buku terbuka dengan halaman-halaman kosong—dan sebuah pena di sampingnya. Seakan menungguku untuk menulis. Aku melangkah. Tidak mudah, tapi kali ini kakiku tidak tenggelam. Aku masih belum tahu pasti jurusan apa yang harus kupilih.

Sejak SMK, aku memendam keinginan untuk masuk jurusan Bahasa Inggris. Tapi aku juga sadar, kuliah itu tidak murah. Biaya hidup di kota, buku, transportasi—semua butuh uang. Hatiku bimbang. Keluargaku jauh dari kata berkecukupan. Ayah hanyalah seorang petani kopi dan padi. Penghasilannya tidak menentu. Kalau panen berhasil dan kopi berbuah lebat, itu seperti mimpi. Tapi mimpi yang jarang jadi kenyataan. Aku menarik napas panjang. Satu-satunya penyemangatku:

Ayah. “Kau harus kuliah,” katanya. “Jangan kau pikirkan biaya. Masa depanmu tidak bisa dibeli, tapi bisa diraih.” Kadang aku ragu. Bukankah nasib sudah digariskan Tuhan? Tapi Ayah percaya, aku bisa mengubah garis itu. Dalam hati, aku juga ingin menyusul kakakku yang sudah lama merantau ke Jakarta. Tiap kali pulang kampung, mereka tampak sukses, seolah berhasil menaklukkan dunia. Tapi Ayah tetap kukuh: kuliah. Jalan itu, katanya, bukan hanya untuk diriku. Tapi juga untuk kami—untuk keluarga ini, untuk harapan yang pernah mereka kubur demi membesarkanku.

Sudah seminggu aku tinggal di Palembang. Menumpang di kontrakan sepupu—hanya tidur, makan, dan diam. Setiap hari, aku merasa seperti beban di tengah keluarga orang. Tak enak rasanya. Dalam hati, aku mulai yakin: aku harus masuk kuliah negeri. Biayanya lebih ringan, dan aku tak ingin berlama-lama menggantung hidup di sini.

Aku memilih IAIN Raden Fatah Palembang. Salah satu kampus negeri yang bisa kujangkau. Aku memilih Fakultas Adab, jurusan Sejarah Kebudayaan Islam. Bukan asal pilih. Sejak madrasah tsanawiyah, aku sudah suka pelajaran sejarah Islam. Ada sesuatu yang menarik—kisah, perjuangan, kebijaksanaan para tokoh masa lalu. Saat aku menyerahkan berkas pendaftaran, salah satu pegawai menatapku. Ia tersenyum, setengah ragu.

“Kamu yakin daftar di fakultas ini?” katanya. “Nanti ada tes baca Al-Qur’an dan wawasan sejarah Islam.”

Aku menatapnya, berusaha tenang. “Memangnya kenapa, Pak?”

“Kamu lulusan SMK, bukan?”

Aku diam. Tak menjawab. Hanya mengambil formulir, mengisi semuanya perlahan, lalu berlalu. Beberapa hari kemudian, hasilnya keluar. Aku dinyatakan lulus. Aku menatap namaku di papan pengumuman. Rasanya tak percaya. Tapi juga tahu, ini baru langkah pertama. Bukan akhir.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

https://www.wattpad.com/1551151399-guru-pembeku-senyum-bab-pertama-kedatangan-di