Jumat, 30 Mei 2025

"Jangan Buka Buku Aira"

 

"Jangan Buka Buku Aira"

By. Audri dan Deni

Pada suatu sore yang mulai gelap, suasana di SMPN 2 Dendang terasa lebih sunyi dari biasanya. Sekolah yang terletak di pinggiran kota itu berdampingan dengan hutan rimba yang lebat, tempat yang oleh warga sekitar sering dianggap angker. Riko, siswa kelas 8, masih berada di sekolah. Ia memutuskan untuk menyelesaikan tugas kelompok di ruang laboratorium lama, yang letaknya berada di bagian paling belakang sekolah. Ia sudah janjian dengan sahabatnya, Aldo, serta beberapa teman lainnya. Namun hingga kini, hanya dia yang datang.

“Mana sih si Aldo? Udah janjian dari tadi, gak muncul-muncul juga,” keluh Riko, berdiri di depan ruang lab. Bangunan tua itu tampak menyeramkan dengan cat dinding yang mengelupas dan lumut yang menjalar sampai ke atas pintu. Di sebelahnya, hutan lebat seolah mengawasi dalam diam.

Riko mencoba menelpon. Tapi tak ada nada sambung. Ia menghela napas dan menutup ponsel.

 BRAK!

Suara keras dari belakang membuat jantung Riko serasa mau copot. Ia menoleh perlahan, langkahnya ragu mendekati sumber suara. Ternyata hanya sebatang ranting jatuh menimpa tumpukan seng bekas dan sampah.

“Ya Allah... Kupikir apaan tadi,” desis Riko sambil mengusap dada.

Saat ia hendak berbalik, tiba-tiba—

"HUAAHAHAHA!"

Terdengar tawa keras dari depan.

“ASTAGHFIRULLAH! Monyet! Eh—monyet!” Riko terlonjak. “Aldo! Gila ya kamu! Hampir mati aku!”

Aldo tertawa puas. “Kalau kamu mati, paling juga aku buang ke hutan sebelah. Beres, kan?”

Riko menatapnya kesal. “Ngomong-ngomong, yang lain mana?”

“Mana kutahu. Kamu yang ngajak janjian, bukan aku. Aku sih tadi sempat mampir ke toilet. Sarapan nasi goreng pedas, bro... efeknya brutal,” jawab Aldo sambil cengengesan.

“Alasan aja, dasar kamu. Padahal kita mau kerja kelompok bareng Niko, Anji, Adelia, Aurel. Mereka gak bareng kamu?”

“Ngapain juga aku bareng anak-anak itu? Emang aku emaknya?”

Riko hendak menjawab, namun ponselnya tiba-tiba bergetar.

Sebuah pesan masuk.

Dari Aira.

“Kalian di mana? Aku di lab, kok gelap banget ya, padahal lampu nyala semua.”

“Eh... Aira katanya udah di lab,” ucap Riko bingung.

Aldo menoleh cepat. “Hah? Dari tadi kita di sini, gak ada siapa-siapa.”

Mereka saling berpandangan. Tiba-tiba, pintu laboratorium yang semula tertutup rapat, berderit membuka.

Angin dingin menyapu wajah mereka, membawa bau lembab dan... amis. Dari dalam lab, terdengar bisikan pelan—nyaris seperti suara anak perempuan.

“Kalian... akhirnya datang juga...”

Riko mundur satu langkah. Aldo menelan ludah. Suara itu tidak asing.

Sosok hitam tampak berdiri di pojok ruangan. Rambutnya panjang menutupi wajah, bajunya seperti seragam sekolah... basah.

“Lari, Do!” Riko berteriak.

Mereka berdua langsung berbalik dan lari secepat mungkin menuju gerbang sekolah. Namun ketika sampai di pintu keluar, Aldo tiba-tiba berhenti.

“Eh, Rik...” katanya pelan. “Tadi kamu bilang yang ngirim pesan itu Aira, kan?”

“Iya. Kenapa?”

Aldo menatapnya dengan wajah pucat. “Tapi... bukannya Aira udah meninggal bulan lalu? Waktu nyasar di hutan belakang sekolah ini?”

Riko terpaku.

Perlahan, ia membuka kembali ponselnya. Tapi...

Layar ponselnya kosong. Tak ada pesan masuk. Tak ada kontak bernama Aira.

Setelah ketegangan yang sempat membuat mereka hampir kabur, Riko dan Aldo akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruang laboratorium.

“Yakin nih balik ke sana?” tanya Aldo sambil celingukan ke arah hutan.

“Yakin gak yakin, kita di sekolah buat kerja tugas, bukan kabur ketakutan,” jawab Riko. “Lagi pula, mungkin tadi cuma halusinasi kita aja.”

Setelah mengumpulkan keberanian, mereka masuk ke dalam laboratorium tua itu. Bau lembab dan debu memenuhi udara. Kursi dan meja tersusun seadanya. Di ujung ruangan, papan tulis penuh coretan lama, sebagian bahkan sudah tak terbaca. Beberapa menit kemudian, Niko, Adelia, dan Aurel datang dengan wajah bingung.

“Maaf telat,” kata Niko. “Tadi kita nyari kalian. Katanya kumpul di aula.”

“Aula?” tanya Riko. “Yang ngajak di lab itu kamu, kan?”

Niko menggeleng. “Bukan aku. Aira yang bilang di grup.”

Mereka semua saling pandang. Tak ada yang berani menyebut nama Aira lebih jauh. Meski suasana masih terasa janggal, mereka akhirnya membuka buku dan laptop, mulai mengerjakan tugas. Riko sesekali menoleh ke jendela, memperhatikan bayangan pohon yang menari di balik cahaya lampu.

Dan saat itulah—semua lampu padam.

"CETAK!"

Ruangan langsung gelap gulita. Hanya suara napas mereka yang terdengar.

“Woi… siapa yang matiin lampu?” bisik Aurel, suaranya gemetar.

“Aku gak gerak apa-apa!” kata Adelia panik.

Tiba-tiba dari pojok ruangan, terdengar suara—ketukan lambat di dinding kayu.

Tok. Tok. Tok. Semua membeku. Tak ada yang bicara. Ketukan itu makin cepat, makin keras.

TOK TOK TOK TOK TOK!

“Udah jangan main-main!” Aldo berteriak, meski suaranya terdengar goyah.

Lalu dari arah belakang, suara pelan muncul.

“Kalian... sudah siap mengerjakan tugas yang sebenarnya?”

Lampu tiba-tiba menyala kembali.

Tapi kini... satu kursi tambahan tampak terisi.

Seorang gadis berseragam duduk diam di sana, rambut panjang menutupi wajahnya.

Buku catatan di depannya berdarah.

Dan di sampingnya, tertulis nama:

AIRA.

Lampu menyala kembali.

Riko menatap bangku di sebelahnya. Tak ada siapa-siapa. Kosong. Tapi tadi dia jelas melihat sesosok gadis duduk di sana.

“Aira…” bisik Niko, hampir tak terdengar.

“Aira udah gak ada, kan?” tanya Aurel pelan, wajahnya pucat.

Semua terdiam. Ruangan yang tadi sempat panas karena panik, kini berubah dingin seolah AC menyala padahal colokannya tak terpasang.

Lalu, pintu lab tiba-tiba terbuka.

Seseorang masuk dengan santai, menenteng tas dan botol minum.

“Eh… sori telat ya, lama banget di toilet tadi. Nasi padang tadi siang bikin perutku berontak,” ucap Anji, duduk santai di kursi paling pojok.

Semua menatapnya dengan wajah kaget dan sedikit kesal.

“Kamu dari tadi di mana?!” bentak Adelia.

“Di belakang. Emang kenapa sih? Kok kalian kaya abis lihat setan semua?”

Anji membuka buku catatannya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Ia duduk, mencoret-coret sesuatu sambil bersenandung kecil. Tak satu pun dari mereka menjawab. Tak satu pun mau menjelaskan kenapa suasana tadi berubah mencekam. Tak satu pun mau bilang soal suara ketukan, suara bisikan... atau sosok Aira yang muncul di tengah kegelapan. Mereka hanya saling tarik napas... dan kembali menunduk, berpura-pura sibuk.

Tiba-tiba—PINTU LAB MENUTUP SENDIRI.

“BRAKKKK!”

Anji berdiri refleks. “Eh? Kok nutup sendiri sih?”

Riko mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Ia dorong, tarik, bahkan tendang. Tetap tak bergeming.

“Gak bisa dibuka,” katanya pelan. “Terkunci dari luar.”

Semua mulai panik lagi. Aldo mencoba jendela. Terkunci rapat. Niko bahkan mencoba membongkar kunci dengan penjepit kertas, tapi gagal.Saat itulah, Adelia menunjuk ke papan tulis dengan wajah pucat pasi. Di sana tertulis dengan kapur putih:

"Tugas belum selesai. Siapa yang keluar... akan digantikan."

Tulisan itu tidak ada saat lampu menyala tadi.

Dan kapur di lantai—bergerak sendiri. Menulis kalimat tambahan:

"Terima kasih telah datang, Anji."

Mereka semua menatap Anji... yang kini tak lagi kelihatan seperti Anji.

Wajahnya menunduk.Tak bergerak. Dan perlahan, darah menetes dari matanya. Ruangan laboratorium yang sempit kini benar-benar senyap. Hanya suara detak jarum jam tua di dinding yang terus berdetak pelan—tik… tik… tik…

Anji masih duduk di kursinya. Menunduk. Tak bergerak sedikit pun. Darah yang tadi menetes dari matanya sudah mengering di pipinya. Tapi yang membuat mereka lebih takut—dia tersenyum.

Senyum kaku, menyeramkan. Matanya kosong seperti tak ada jiwa di dalamnya.

“Rik… kita gak bisa terus di sini,” bisik Aurel.

“Jangan panik,” sahut Riko pelan, meski keringat dingin membasahi lehernya.

Tiba-tiba...

Lampu kembali mati.

Gelap gulita.

“Siapa punya senter? Cepet!” teriak Adelia.

Niko buru-buru menyalakan lampu dari ponselnya. Cahaya kecil itu menyorot wajah-wajah tegang di sekeliling meja. Tapi...

Satu orang hilang.

Aldo.

“Kemana Aldo?” seru Riko.

“Baru aja di sebelahku tadi!” Aurel hampir menangis. Cahaya senter diarahkan ke seluruh sudut ruangan. Kosong. Tak ada suara, tak ada jejak. Di atas meja tempat Aldo duduk, kini ada sebuah kertas robek. Riko meraihnya perlahan. Tulisannya pakai huruf miring, seolah ditulis dengan tangan gemetar:

"Dia menolak mengerjakan tugas. Maka dia yang pertama."

Mereka semua mundur beberapa langkah. Nafas mereka terengah-engah, dada sesak.

"Dia... siapa yang nulis ini?" gumam Adelia.

Mereka berusaha menenangkan diri, kembali duduk bersama. Namun tak sampai lima menit, saat mereka hendak memulai membaca buku tugas...

Cahaya ponsel Niko padam.

“Woi, hape gue!” Niko panik, mencoba menyalakannya lagi. Gagal. Detik berikutnya, suara kursi bergeser terdengar pelan. Semua menoleh ke arah suara itu. Niko tidak ada.

“Ya Allah… satu lagi!” Adelia teriak. Kini mereka tinggal bertiga: Riko, Aurel, dan Adelia.

Aurel mulai menangis. “Aku gak mau ikut-ikutan ilang... aku gak mau…”

Tapi saat mereka menoleh ke arah Anji, dia sudah berdiri. Tubuhnya masih membelakangi mereka. Perlahan ia menoleh—dan suara berbisik kembali terdengar, kali ini jauh lebih dekat:

“Yang terakhir... akan tetap di sini. Menjadi bagian dari ruangan ini...”

Kini hanya tersisa dua orang: Riko dan Adelia.

Aurel menghilang beberapa menit lalu, dan mereka tahu… kalau mereka tidak bertindak cepat, mereka akan menyusul.

“Rik… aku takut. Kita harus keluar dari sini,” bisik Adelia.

“Pintu terkunci. Jendela gak bisa dibuka. Cuma ada satu jalan…”

Riko menunjuk ke papan tulis. Di sana, tulisan tadi masih terbaca samar:

"Tugas belum selesai. Siapa yang keluar... akan digantikan."

Adelia menelan ludah. “Kita harus... nyelesaiin tugas?”

“Bukan tugas biasa. Ini tugas yang... dulu gak selesai.”

Riko membuka laci meja guru. Tangannya menyentuh sesuatu—buku catatan tua, berdebu, dengan stiker nama: Aira Rahmawati, 8A. Ia membukanya perlahan. Di dalamnya... ada tulisan terakhir yang seperti coretan tergesa:

“Aku gak mau ikut mereka… aku tahu lab ini ada yang jagain… tapi mereka maksa ritual itu. Aku kabur. Tapi aku dengar suara... suara dari dalam dinding...”

Mereka saling tatap.

“Aira... bukan meninggal karena tersesat,” desis Riko. “Dia kabur dari... sesuatu.”

Tiba-tiba, suara kursi jatuh dari belakang.

Anji kini berdiri tepat di tengah ruangan. Kepalanya menunduk, tubuhnya kaku. Saat ia angkat wajahnya, mereka melihat matanya hitam pekat—penuh kegelapan.

Dengan suara yang bukan suara Anji, ia berkata:

“Aira tidak menyelesaikan tugasnya. Tapi kalian bisa menggantikannya.”

Riko dan Adelia mundur. Tapi lalu, Riko punya ide gila.

“Del… kau ingat buku catatan Aira yang kita temukan tadi pagi di perpustakaan? Yang isinya mantra-mantra aneh?”

Adelia mengangguk. “Yang tulisannya dibalik? Aku fotoin!”

Dengan tangan gemetar, ia membuka ponselnya dan menemukan foto itu.

Tertulis di sana:

"Jika ingin memanggil roh yang tersesat, sebut namanya tiga kali di ruang tempat ia pergi. Tawarkan penyelesaian yang tak sempat dituntaskan."

Riko berdiri, meski lututnya lemas.

“Aira… Aira… Aira…”

Udara mendadak berubah. Dinginnya menusuk tulang.

Cahaya lampu mulai berkedip-kedip.

Dan dari dinding belakang lab... perlahan muncul kabut tipis. Di tengah kabut itu, sesosok gadis berambut panjang berdiri.

Aira.

Wajahnya pucat, matanya merah, tapi ia terlihat... sedih.

“Aku... cuma mau menyelesaikan tugasku. Mereka paksa aku ikut ritual itu... Tapi aku gak siap... dan aku... terjebak.”

Riko menelan ludah. “Kita bisa bantu.”

Adelia menyerahkan buku tugas mereka. “Selesaikan tugasmu. Kita bantu tuliskan.”

Aira menatap mereka. Lalu perlahan berjalan menuju meja.

Anji tiba-tiba meraung keras—suara dalam tubuhnya menjerit, seperti makhluk yang terbakar. Ia ambruk ke lantai... dan tidak bergerak lagi.

Aira mengambil pena. Ia menulis sesuatu... cepat... dan akhirnya menutup buku itu.

Lalu ia menatap Riko dan Adelia... tersenyum.

“Terima kasih…”

BRUK!

Cahaya padam total. Suara keras terdengar seperti pintu yang dibuka paksa.

Dan ketika cahaya kembali…

Lab sudah kosong.

Riko dan Adelia berdiri di luar ruangan, tepat di depan pintu. Mereka saling pandang, terengah-engah.

“Del…”

“Ya?”

“Kayaknya... tugasnya udah selesai.”

 

Malam Terakhir Aira

Dunia tiba-tiba membeku. Waktu berputar ke belakang. Lampu-lampu laboratorium kini kuning temaram. Jam dinding menunjukkan pukul 22.10. Aira muda duduk di kursinya. Matanya sembab. Di sekelilingnya empat siswa lain—semuanya wajah familiar. Mereka teman satu kelompoknya.

“Cepatlah, Aira,” kata salah satu. “Kalau kamu gak ikut, kita semua bakal dapat nilai nol!”

“Tapi ini... ini bukan sekadar main-main,” ucap Aira ketakutan. “Ini manggil sesuatu…”

Mereka tertawa. Satu dari mereka membuka buku kuno yang mereka temukan di ruang arsip. Mereka menyebutnya “buku pemanggil roh penjaga sekolah.”

Mantranya dibacakan... dan saat itu juga udara berubah.

Lampu berkedip.

Tok... tok... tok...

Ketukan dari dalam dinding.Bayangan hitam menyelimuti ruangan. Aira berteriak, lari ke sudut lab, bersembunyi. Teman-temannya satu per satu... menghilang. Diseret. Ditelan dinding. Raib entah ke mana. Ia menulis cepat di buku catatannya, pesan terakhir... sebelum kegelapan menyapanya juga.

“Aku tidak ingin ikut. Tapi mereka paksa. Aku tidak tahu caranya keluar. Jika kau membaca ini… tolong selesaikan tugasku.”

Seminggu kemudian, ruang laboratorium ditutup permanen. Guru-guru tidak membahasnya lagi. Tidak ada kabar soal Aldo, Niko, Aurel. Bahkan Anji dikabarkan pindah sekolah mendadak.

Tapi setiap malam Jumat, penjaga malam kadang mendengar suara...

“Tok… tok… tok…”

Dan di dalam lab, buku catatan Aira masih tergeletak di atas meja. Kadang… halamannya terbuka sendiri.Dan setiap halaman itu…

…berisi tugas baru.

 

Epilog (versi revisi dengan Akbar dan Ustad Riki)

Seminggu setelah kejadian di lab, ruang itu ditutup permanen. Gembok besi diganti baru. Tidak ada guru yang mau membahasnya. Tidak ada siswa yang berani mendekat. Namun kabar-kabar tetap beredar. Terutama tentang Akbar, alumni sekolah itu yang kini dikabarkan mendekam di penjara. Konon, dialah yang dulu membawa kitab ritual terkutuk ke lab, memaksa Aira dan teman-temannya menjalani permainan berbahaya. Ia menyimpan dendam buta karena tidak pernah bisa mengalahkan Aira dalam pelajaran. Kini ia membayar semuanya. Tapi jejak perbuatannya… tetap tertinggal.

Sementara itu, nasib Riko, Aurel, dan Aldo tak pernah benar-benar pasti—hingga suatu malam, seorang ustad muda bernama Riki datang ke sekolah. Ia merasa dipanggil dalam mimpi, oleh seorang gadis berjilbab putih yang menangis sambil membawa buku tugas.Ia datang, berdoa di depan ruang laboratorium, dan membaca ayat-ayat pelindung. Lalu… angin bertiup pelan, pintu lab berderit terbuka, dan di dalam...Tiga remaja duduk lemas, seperti baru terbangun dari tidur panjang.

Mereka kembali.

Tidak ada yang tahu bagaimana caranya. Tapi semua sepakat: bukan karena manusia semata.Kini, sekolah tetap berjalan. Tapi tak ada yang pernah mau mengerjakan tugas di ruang lab tua lagi. Dan buku catatan Aira?

Masih ada di sana. Terkunci dalam lemari besi. Dibiarkan... diam.

Karena setiap kali seseorang menyentuhnya, mereka bisa mendengar suara halus, seperti bisikan:

“Tugasku sudah selesai. Tapi… siapa yang selanjutnya?”

#cerpen #ceritahoror #filmhantu

 

 

1 komentar:

  1. Assalamualaikum, terima kasih kalian mampir dan membaca cerpen ini, aku ada versi novelnya ceritanya makin seru dan merinding. silakan kalian ke Aplikasi Fizzo Novel. di play store download. itu versi panjangnya. klik aja judul Novelnya

    BalasHapus

https://www.wattpad.com/1551151399-guru-pembeku-senyum-bab-pertama-kedatangan-di