"Jangan Buka Buku Aira"
By. Audri dan Deni
Pada suatu sore yang mulai gelap, suasana di SMPN 2 Dendang terasa lebih sunyi dari biasanya. Sekolah yang terletak di pinggiran kota itu berdampingan dengan hutan rimba yang lebat, tempat yang oleh warga sekitar sering dianggap angker. Riko, siswa kelas 8, masih berada di sekolah. Ia memutuskan untuk menyelesaikan tugas kelompok di ruang laboratorium lama, yang letaknya berada di bagian paling belakang sekolah. Ia sudah janjian dengan sahabatnya, Aldo, serta beberapa teman lainnya. Namun hingga kini, hanya dia yang datang.
“Mana sih si Aldo? Udah janjian dari
tadi, gak muncul-muncul juga,” keluh Riko, berdiri di depan ruang lab. Bangunan
tua itu tampak menyeramkan dengan cat dinding yang mengelupas dan lumut yang
menjalar sampai ke atas pintu. Di sebelahnya, hutan lebat seolah mengawasi
dalam diam.
Riko mencoba menelpon. Tapi tak ada nada
sambung. Ia menghela napas dan menutup ponsel.
Suara keras dari belakang membuat jantung
Riko serasa mau copot. Ia menoleh perlahan, langkahnya ragu mendekati sumber
suara. Ternyata hanya sebatang ranting jatuh menimpa tumpukan seng bekas dan
sampah.
“Ya Allah... Kupikir apaan tadi,” desis
Riko sambil mengusap dada.
Saat ia hendak berbalik, tiba-tiba—
"HUAAHAHAHA!"
Terdengar tawa keras dari depan.
“ASTAGHFIRULLAH! Monyet! Eh—monyet!” Riko
terlonjak. “Aldo! Gila ya kamu! Hampir mati aku!”
Aldo tertawa puas. “Kalau kamu mati,
paling juga aku buang ke hutan sebelah. Beres, kan?”
Riko menatapnya kesal. “Ngomong-ngomong,
yang lain mana?”
“Mana kutahu. Kamu yang ngajak janjian,
bukan aku. Aku sih tadi sempat mampir ke toilet. Sarapan nasi goreng pedas,
bro... efeknya brutal,” jawab Aldo sambil cengengesan.
“Alasan aja, dasar kamu. Padahal kita mau
kerja kelompok bareng Niko, Anji, Adelia, Aurel. Mereka gak bareng kamu?”
“Ngapain juga aku bareng anak-anak itu?
Emang aku emaknya?”
Riko hendak menjawab, namun ponselnya
tiba-tiba bergetar.
Sebuah pesan masuk.
Dari Aira.
“Kalian di mana? Aku di lab, kok gelap
banget ya, padahal lampu nyala semua.”
“Eh... Aira katanya udah di lab,” ucap
Riko bingung.
Aldo menoleh cepat. “Hah? Dari tadi kita
di sini, gak ada siapa-siapa.”
Mereka saling berpandangan. Tiba-tiba,
pintu laboratorium yang semula tertutup rapat, berderit membuka.
Angin dingin menyapu wajah mereka,
membawa bau lembab dan... amis. Dari dalam lab, terdengar bisikan pelan—nyaris
seperti suara anak perempuan.
“Kalian... akhirnya datang juga...”
Riko mundur satu langkah. Aldo menelan
ludah. Suara itu tidak asing.
Sosok hitam tampak berdiri di pojok
ruangan. Rambutnya panjang menutupi wajah, bajunya seperti seragam sekolah...
basah.
“Lari, Do!” Riko berteriak.
Mereka berdua langsung berbalik dan lari
secepat mungkin menuju gerbang sekolah. Namun ketika sampai di pintu keluar,
Aldo tiba-tiba berhenti.
“Eh, Rik...” katanya pelan. “Tadi kamu
bilang yang ngirim pesan itu Aira, kan?”
“Iya. Kenapa?”
Aldo menatapnya dengan wajah pucat.
“Tapi... bukannya Aira udah meninggal bulan lalu? Waktu nyasar di hutan
belakang sekolah ini?”
Riko terpaku.
Perlahan, ia membuka kembali ponselnya.
Tapi...
Layar ponselnya kosong. Tak ada pesan
masuk. Tak ada kontak bernama Aira.
Setelah ketegangan yang sempat membuat
mereka hampir kabur, Riko dan Aldo akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruang
laboratorium.
“Yakin nih balik ke sana?” tanya Aldo
sambil celingukan ke arah hutan.
“Yakin gak yakin, kita di sekolah buat
kerja tugas, bukan kabur ketakutan,” jawab Riko. “Lagi pula, mungkin tadi cuma
halusinasi kita aja.”
Setelah mengumpulkan keberanian, mereka masuk ke dalam laboratorium
tua itu. Bau lembab dan debu memenuhi udara. Kursi dan meja tersusun seadanya.
Di ujung ruangan, papan tulis penuh coretan lama, sebagian bahkan sudah tak
terbaca. Beberapa menit kemudian, Niko, Adelia, dan Aurel datang dengan wajah
bingung.
“Maaf
telat,” kata Niko. “Tadi kita nyari kalian. Katanya kumpul di aula.”
“Aula?”
tanya Riko. “Yang ngajak di lab itu kamu, kan?”
Niko
menggeleng. “Bukan aku. Aira yang bilang di grup.”
Mereka semua saling pandang. Tak ada yang berani menyebut nama Aira
lebih jauh. Meski suasana masih terasa janggal, mereka akhirnya membuka buku
dan laptop, mulai mengerjakan tugas. Riko sesekali menoleh ke jendela,
memperhatikan bayangan pohon yang menari di balik cahaya lampu.
Dan saat
itulah—semua lampu padam.
"CETAK!"
Ruangan
langsung gelap gulita. Hanya suara napas mereka yang terdengar.
“Woi…
siapa yang matiin lampu?” bisik Aurel, suaranya gemetar.
“Aku gak
gerak apa-apa!” kata Adelia panik.
Tiba-tiba
dari pojok ruangan, terdengar suara—ketukan lambat
di dinding kayu.
Tok. Tok. Tok. Semua membeku. Tak ada yang bicara. Ketukan itu makin cepat, makin
keras.
TOK TOK TOK TOK TOK!
“Udah
jangan main-main!” Aldo berteriak, meski suaranya terdengar goyah.
Lalu dari
arah belakang, suara pelan muncul.
“Kalian... sudah siap mengerjakan tugas yang sebenarnya?”
Lampu
tiba-tiba menyala kembali.
Tapi
kini... satu kursi tambahan tampak terisi.
Seorang
gadis berseragam duduk diam di sana, rambut panjang menutupi wajahnya.
Buku
catatan di depannya berdarah.
Dan di
sampingnya, tertulis nama:
AIRA.
Lampu menyala kembali.
Riko
menatap bangku di sebelahnya. Tak ada siapa-siapa. Kosong. Tapi tadi dia jelas
melihat sesosok gadis duduk di sana.
“Aira…”
bisik Niko, hampir tak terdengar.
“Aira
udah gak ada, kan?” tanya Aurel pelan, wajahnya pucat.
Semua
terdiam. Ruangan yang tadi sempat panas karena panik, kini berubah dingin
seolah AC menyala padahal colokannya tak terpasang.
Lalu, pintu lab tiba-tiba terbuka.
Seseorang
masuk dengan santai, menenteng tas dan botol minum.
“Eh… sori
telat ya, lama banget di toilet tadi. Nasi padang tadi siang bikin perutku
berontak,” ucap Anji, duduk santai di kursi
paling pojok.
Semua
menatapnya dengan wajah kaget dan sedikit kesal.
“Kamu
dari tadi di mana?!” bentak Adelia.
“Di
belakang. Emang kenapa sih? Kok kalian kaya abis lihat setan semua?”
Anji
membuka buku catatannya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Ia duduk,
mencoret-coret sesuatu sambil bersenandung kecil. Tak satu pun dari mereka
menjawab. Tak satu pun mau menjelaskan kenapa suasana tadi berubah mencekam. Tak
satu pun mau bilang soal suara ketukan, suara bisikan... atau sosok Aira yang
muncul di tengah kegelapan. Mereka hanya saling tarik napas... dan kembali
menunduk, berpura-pura sibuk.
Tiba-tiba—PINTU LAB MENUTUP SENDIRI.
“BRAKKKK!”
Anji
berdiri refleks. “Eh? Kok nutup sendiri sih?”
Riko
mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Ia dorong, tarik, bahkan tendang. Tetap
tak bergeming.
“Gak bisa
dibuka,” katanya pelan. “Terkunci dari luar.”
Semua mulai panik lagi. Aldo mencoba jendela. Terkunci rapat. Niko
bahkan mencoba membongkar kunci dengan penjepit kertas, tapi gagal.Saat itulah,
Adelia menunjuk ke papan tulis dengan wajah pucat pasi. Di sana tertulis dengan
kapur putih:
"Tugas belum selesai. Siapa yang keluar... akan
digantikan."
Tulisan
itu tidak ada saat lampu menyala tadi.
Dan kapur
di lantai—bergerak sendiri. Menulis kalimat tambahan:
"Terima kasih telah datang, Anji."
Mereka
semua menatap Anji... yang kini tak lagi kelihatan seperti Anji.
Wajahnya
menunduk.Tak bergerak. Dan perlahan, darah menetes dari matanya. Ruangan
laboratorium yang sempit kini benar-benar senyap. Hanya suara detak jarum jam
tua di dinding yang terus berdetak pelan—tik… tik… tik…
Anji masih duduk di kursinya. Menunduk.
Tak bergerak sedikit pun. Darah yang tadi menetes dari matanya sudah mengering
di pipinya. Tapi yang membuat mereka lebih takut—dia tersenyum.
Senyum kaku, menyeramkan. Matanya kosong
seperti tak ada jiwa di dalamnya.
“Rik… kita gak bisa terus di sini,” bisik
Aurel.
“Jangan panik,” sahut Riko pelan, meski
keringat dingin membasahi lehernya.
Tiba-tiba...
Lampu kembali mati.
Gelap gulita.
“Siapa punya senter? Cepet!” teriak
Adelia.
Niko buru-buru menyalakan lampu dari ponselnya.
Cahaya kecil itu menyorot wajah-wajah tegang di sekeliling meja. Tapi...
Satu orang hilang.
Aldo.
“Kemana Aldo?” seru Riko.
“Baru aja di sebelahku tadi!” Aurel
hampir menangis. Cahaya senter diarahkan ke seluruh sudut ruangan. Kosong. Tak
ada suara, tak ada jejak. Di atas meja tempat Aldo duduk, kini ada sebuah
kertas robek. Riko meraihnya perlahan. Tulisannya pakai huruf miring,
seolah ditulis dengan tangan gemetar:
"Dia menolak mengerjakan tugas. Maka
dia yang pertama."
Mereka semua mundur beberapa langkah.
Nafas mereka terengah-engah, dada sesak.
"Dia... siapa yang nulis ini?"
gumam Adelia.
Mereka berusaha menenangkan diri, kembali
duduk bersama. Namun tak sampai lima menit, saat mereka hendak memulai membaca
buku tugas...
Cahaya ponsel Niko padam.
“Woi, hape gue!” Niko panik, mencoba
menyalakannya lagi. Gagal. Detik berikutnya, suara kursi bergeser terdengar
pelan. Semua menoleh ke arah suara itu. Niko tidak ada.
“Ya Allah… satu lagi!” Adelia teriak. Kini
mereka tinggal bertiga: Riko, Aurel, dan Adelia.
Aurel mulai menangis. “Aku gak mau
ikut-ikutan ilang... aku gak mau…”
Tapi saat mereka menoleh ke arah Anji, dia
sudah berdiri. Tubuhnya masih membelakangi mereka. Perlahan ia menoleh—dan
suara berbisik kembali terdengar, kali ini jauh lebih dekat:
“Yang terakhir... akan tetap di sini.
Menjadi bagian dari ruangan ini...”
Kini hanya tersisa dua orang: Riko
dan Adelia.
Aurel menghilang beberapa menit lalu, dan
mereka tahu… kalau mereka tidak bertindak cepat, mereka akan menyusul.
“Rik… aku takut. Kita harus keluar dari
sini,” bisik Adelia.
“Pintu terkunci. Jendela gak bisa dibuka.
Cuma ada satu jalan…”
Riko menunjuk ke papan tulis. Di sana,
tulisan tadi masih terbaca samar:
"Tugas belum selesai. Siapa yang
keluar... akan digantikan."
Adelia menelan ludah. “Kita harus...
nyelesaiin tugas?”
“Bukan tugas biasa. Ini tugas yang...
dulu gak selesai.”
Riko membuka laci meja guru. Tangannya
menyentuh sesuatu—buku catatan tua, berdebu, dengan stiker nama: Aira
Rahmawati, 8A. Ia membukanya perlahan. Di dalamnya... ada tulisan terakhir
yang seperti coretan tergesa:
“Aku gak mau ikut mereka… aku tahu lab
ini ada yang jagain… tapi mereka maksa ritual itu. Aku kabur. Tapi aku dengar
suara... suara dari dalam dinding...”
Mereka saling tatap.
“Aira... bukan meninggal karena
tersesat,” desis Riko. “Dia kabur dari... sesuatu.”
Tiba-tiba, suara kursi jatuh dari
belakang.
Anji kini berdiri tepat di tengah
ruangan. Kepalanya menunduk, tubuhnya kaku. Saat ia angkat wajahnya, mereka
melihat matanya hitam pekat—penuh kegelapan.
Dengan suara yang bukan suara Anji, ia
berkata:
“Aira tidak menyelesaikan tugasnya. Tapi
kalian bisa menggantikannya.”
Riko dan Adelia mundur. Tapi lalu, Riko
punya ide gila.
“Del… kau ingat buku catatan Aira yang
kita temukan tadi pagi di perpustakaan? Yang isinya mantra-mantra aneh?”
Adelia mengangguk. “Yang tulisannya
dibalik? Aku fotoin!”
Dengan tangan gemetar, ia membuka
ponselnya dan menemukan foto itu.
Tertulis di sana:
"Jika ingin memanggil roh yang
tersesat, sebut namanya tiga kali di ruang tempat ia pergi. Tawarkan
penyelesaian yang tak sempat dituntaskan."
Riko berdiri, meski lututnya lemas.
“Aira… Aira… Aira…”
Udara mendadak berubah. Dinginnya menusuk
tulang.
Cahaya lampu mulai berkedip-kedip.
Dan dari dinding belakang lab... perlahan
muncul kabut tipis. Di tengah kabut itu, sesosok gadis berambut panjang
berdiri.
Aira.
Wajahnya pucat, matanya merah, tapi ia
terlihat... sedih.
“Aku... cuma mau menyelesaikan tugasku. Mereka
paksa aku ikut ritual itu... Tapi aku gak siap... dan aku... terjebak.”
Riko menelan ludah. “Kita bisa bantu.”
Adelia menyerahkan buku tugas mereka.
“Selesaikan tugasmu. Kita bantu tuliskan.”
Aira menatap mereka. Lalu perlahan
berjalan menuju meja.
Anji tiba-tiba meraung keras—suara dalam
tubuhnya menjerit, seperti makhluk yang terbakar. Ia ambruk ke lantai... dan
tidak bergerak lagi.
Aira mengambil pena. Ia menulis
sesuatu... cepat... dan akhirnya menutup buku itu.
Lalu ia menatap Riko dan Adelia... tersenyum.
“Terima kasih…”
BRUK!
Cahaya padam total. Suara keras terdengar
seperti pintu yang dibuka paksa.
Dan ketika cahaya kembali…
Lab sudah kosong.
Riko dan Adelia berdiri di luar ruangan,
tepat di depan pintu. Mereka saling pandang, terengah-engah.
“Del…”
“Ya?”
“Kayaknya... tugasnya udah selesai.”
Malam Terakhir Aira
Dunia tiba-tiba membeku. Waktu berputar
ke belakang. Lampu-lampu laboratorium kini kuning temaram. Jam dinding
menunjukkan pukul 22.10. Aira muda duduk di kursinya. Matanya sembab. Di
sekelilingnya empat siswa lain—semuanya wajah familiar. Mereka teman satu kelompoknya.
“Cepatlah, Aira,” kata salah satu. “Kalau
kamu gak ikut, kita semua bakal dapat nilai nol!”
“Tapi ini... ini bukan sekadar
main-main,” ucap Aira ketakutan. “Ini manggil sesuatu…”
Mereka tertawa. Satu dari mereka membuka
buku kuno yang mereka temukan di ruang arsip. Mereka menyebutnya “buku
pemanggil roh penjaga sekolah.”
Mantranya dibacakan... dan saat itu juga
udara berubah.
Lampu berkedip.
Tok... tok... tok...
Ketukan dari dalam dinding.Bayangan hitam
menyelimuti ruangan. Aira berteriak, lari ke sudut lab, bersembunyi.
Teman-temannya satu per satu... menghilang. Diseret. Ditelan dinding.
Raib entah ke mana. Ia menulis cepat di buku catatannya, pesan terakhir...
sebelum kegelapan menyapanya juga.
“Aku tidak ingin ikut. Tapi mereka paksa.
Aku tidak tahu caranya keluar. Jika kau membaca ini… tolong selesaikan
tugasku.”
Seminggu kemudian, ruang laboratorium ditutup
permanen. Guru-guru tidak membahasnya lagi. Tidak ada kabar soal Aldo,
Niko, Aurel. Bahkan Anji dikabarkan pindah sekolah mendadak.
Tapi setiap malam Jumat, penjaga malam
kadang mendengar suara...
“Tok… tok… tok…”
Dan di dalam lab, buku catatan Aira masih
tergeletak di atas meja. Kadang… halamannya terbuka sendiri.Dan setiap halaman
itu…
…berisi tugas baru.
Epilog (versi revisi dengan Akbar dan
Ustad Riki)
Seminggu setelah kejadian di lab, ruang
itu ditutup permanen. Gembok besi diganti baru. Tidak ada guru yang mau
membahasnya. Tidak ada siswa yang berani mendekat. Namun kabar-kabar tetap
beredar. Terutama tentang Akbar, alumni sekolah itu yang kini dikabarkan mendekam
di penjara. Konon, dialah yang dulu membawa kitab ritual terkutuk ke
lab, memaksa Aira dan teman-temannya menjalani permainan berbahaya. Ia
menyimpan dendam buta karena tidak pernah bisa mengalahkan Aira dalam
pelajaran. Kini ia membayar semuanya. Tapi jejak perbuatannya… tetap
tertinggal.
Sementara itu, nasib Riko, Aurel, dan
Aldo tak pernah benar-benar pasti—hingga suatu malam, seorang ustad muda
bernama Riki datang ke sekolah. Ia merasa dipanggil dalam mimpi, oleh
seorang gadis berjilbab putih yang menangis sambil membawa buku tugas.Ia
datang, berdoa di depan ruang laboratorium, dan membaca ayat-ayat pelindung.
Lalu… angin bertiup pelan, pintu lab berderit terbuka, dan di dalam...Tiga
remaja duduk lemas, seperti baru terbangun dari tidur panjang.
Mereka kembali.
Tidak ada yang tahu bagaimana caranya.
Tapi semua sepakat: bukan karena manusia semata.Kini, sekolah tetap
berjalan. Tapi tak ada yang pernah mau mengerjakan tugas di ruang lab tua lagi.
Dan buku catatan Aira?
Masih ada di sana. Terkunci dalam lemari
besi. Dibiarkan... diam.
Karena setiap kali seseorang
menyentuhnya, mereka bisa mendengar suara halus, seperti bisikan:
“Tugasku sudah selesai. Tapi… siapa yang
selanjutnya?”
Assalamualaikum, terima kasih kalian mampir dan membaca cerpen ini, aku ada versi novelnya ceritanya makin seru dan merinding. silakan kalian ke Aplikasi Fizzo Novel. di play store download. itu versi panjangnya. klik aja judul Novelnya
BalasHapus