“Lonceng Terakhir”
By. Deni Irwansyah
Langit hari itu mendung,
seolah ikut merasakan
beratnya hati kami. Di halaman
sekolah yang biasa riuh dengan
tawa, hari ini penuh dengan
isak tangis tertahan.
Seragam putih biru yang dulu terasa biasa saja, kini seakan punya makna. Ini hari terakhir
kami di sini.
"Aku gak percaya ini hari terakhir
kita duduk bareng,"
ucap Aura pelan,
memeluk erat sahabatnya,
Kelsi.
Kelsi hanya mengangguk. Matanya
sembab, dan tangannya
tak henti meremas
ujung seragam. Mereka
bersahabat sejak kelas 7, saling
menenangkan saat patah hati, saling
dukung saat ujian,
saling bahu saat dunia terasa
berat.
"Aku takut,
Kel," Aura melanjutkan.
"Takut kita nggak seakrab ini nanti. Takut kamu lupa aku."
Kelsi tersenyum
pahit. "Mana mungkin
aku lupa kamu, orang yang selalu duduk di sebelahku,
pinjam pensilku, curi makananku pas istirahat."
Dari kejauhan, lonceng
berbunyi. Lonceng terakhir
kami di sekolah
ini. Di sekeliling kami, teman-teman lain mulai berpelukan.
Ada yang tertawa
untuk menutupi tangis,
ada yang hanya diam menatap
langit. Semua merasakan
hal yang sama: hampa.
Pak Mulyono, wali kelas kami, berdiri di depan aula. Suaranya bergetar
saat bicara, “Kalian
bukan cuma murid saya. Kalian
adalah bagian dari hidup saya selama tiga tahun ini. Kalian akan pergi, tapi kenangan kalian
tetap tinggal.”
Tangis pecah.
Bahkan anak laki-laki
yang biasanya paling
jahil pun tak mampu menahan
air mata.
Setelah acara perpisahan selesai,
kami duduk berdua
di bangku taman sekolah yang sudah mulai lapuk. Tempat
kami sering cerita
soal mimpi-mimpi.
"Kel," bisik Aura, "kalau
suatu saat nanti kamu udah sibuk, punya dunia baru, jangan lupa sesekali lihat ke belakang
ya. Di situ, ada aku."
Kelsi mengangguk.
"Dan kamu juga. Kita mungkin
nggak bisa bareng
terus, tapi aku percaya... sahabat
sejati nggak perlu selalu bersama
untuk tetap dekat."
Kami berpelukan.
Lama. Seolah memeluk
semua kenangan yang pernah ada.
Langit akhirnya
menangis bersama kami.
Di tengah pelukan
dan air mata yang mengalir
tanpa malu, terdengar
suara isak yang berbeda. Bukan tangis lirih yang ditahan,
tapi sesenggukan keras,
nyaring, dan tulus.
Semua mata menoleh
ke arah ujung barisan. Di sana, berdiri
seorang laki-laki yang tubuhnya terguncang
oleh tangis. Lintang.
Ia biasa jadi pusat kekacauan
di kelas. Suka jahil, suka usil, kadang
menjengkelkan. Ia sering
duduk sendiri di pojok belakang,
pura-pura sibuk dengan
coretan bukunya, tapi sesekali matanya
mencuri pandang ke arah
teman-temannya yang tertawa.
Hari itu, topengnya runtuh.
"Lintang?" bisik Kelsi, hampir
tak percaya.
Lintang mengusap
wajahnya kasar, tapi air matanya
tetap tumpah. "Maaf
ya... kalau aku sering nyebelin," suaranya
pecah. "Aku cuma...
nggak tahu cara nunjukin kalau aku sayang
sama kalian semua."
Aura dan kelsi saling
pandang, lalu berjalan
menghampirinya.
Lintang menunduk,
menahan isak. "Aku
gak punya banyak
temen. Kalian satu-satunya
yang bikin aku betah di sekolah. Tapi aku gak pernah bilang...
karena takut diketawain."
Tanpa banyak
kata, Kelsi meraih
tangannya. Aura memeluknya
dari samping.
"Nggak ada yang ketawain
kamu, Tang. Kita semua sayang
kamu juga," bisik Aura lembut.
Tangis Lintang
pecah lagi, kali ini di dalam pelukan
sahabat-sahabat yang selama
ini diam-diam berarti
baginya. Beberapa teman lain ikut mendekat, satu per satu memeluk Lintang.
Tidak ada lagi gengsi, tidak ada lagi julukan "anak
rese." Yang ada hanya manusia-manusia muda yang sedang
belajar arti kehilangan,
perpisahan, dan kasih yang tak sempat terucap.
Hari itu, bukan hanya langit
yang menangis. Tapi juga hati-hati
yang akhirnya bicara.
Dan di tengah
air mata itu, persahabatan menemukan
bentuknya yang paling
jujur.
“Hening Terakhir di Kelas IX”
Dulu, kelas IX.
A adalah sumber keributan
sekolah. Suara kursi diseret, tawa meledak tanpa permisi, dan pura-pura diam tiap kali langkah kaki Waka SMP 2 Dendang—Pak
Yono—mendekat. Beliau galaknya
luar biasa. Satu tatapan saja bisa membuat
seisi kelas mendadak
jadi patung.
Tapi hari ini Ruangan itu sunyi.
Kelam. Tak ada suara,
tak ada gelak,
tak ada teriakan
atau “psst!” untuk menyembunyikan makanan
dari guru piket. Nicolas dan Rafa berdiri
di ambang pintu kelas, menatap
ke dalam dengan
tatapan kosong. Meja-meja tersusun rapi, tapi kehilangan jiwanya. Seolah
semua tawa, marah,
dan cinta yang pernah tertinggal
di sana telah menguap bersama
waktu.
“Gak ada lagi Las, gak ada lagi candaan
kita,” ucap Rafa lirih. Matanya
menerawang, seolah mencari
bayangan masa lalu yang masih tertinggal di sudut dinding. Nicolas tersenyum
tipis.
“Dan yang paling
lucu, inget gak si Ilham?
Suka molor di pojok sini pas Zuhur.
Ngoroknya bisa ngalahin
toa masjid.”
Rafa terkekeh kecil,
lalu diam. Suasana
terlalu berat untuk tertawa.
“Semenjak Pak Yono jadi waka, kita gak bisa gerak banyak
ya,” lanjut Nicolas.
“Orang satu itu detil banget. Kita nyari alasan bolos aja kayak nyari jalan
ninja.”
Lalu mereka sama-sama
diam.
Pandangan mereka
jatuh ke meja Ilham. Kosong.
“Aku kangen,”
bisik Nicolas, menggenggam
bahu Rafa. “Nanti,
suatu hari, waktu kita udah jauh dari sini, kamu bakal inget gak... ruangan
ini? Semua kekacauan
kita?”
Rafa mengangguk
pelan. “Aku bakal inget. Semuanya.
Bahkan Fauzan yang selalu nyeker
tiap pulang sekolah.
Belum nyampe gerbang
aja, Pak Yono udah teriak
dari kejauhan.”
Mereka tertawa
sebentar. Tangis yang menyamar.
Langit di luar gelap.
Bukan karena hujan,
tapi karena perpisahan.
Semua cerita yang mereka bangun
tiga tahun ini, kini tinggal
kenangan di dinding
kusam kelas yang pernah mereka
sebut rumah kedua.
Rafa melangkah
masuk, menyentuh meja yang dulu miliknya. Nicolas
mengikuti.
“Pokoknya... sedihlah,” ucap Rafa, suaranya nyaris
tak terdengar.
Dan untuk pertama kalinya
dalam tiga tahun,
kelas IX benar-benar
hening.
Tapi kali ini bukan karena
takut dimarahi,
melainkan karena
hati yang tak sanggup mengucap
selamat tinggal.
Lonceng Terakhir (Bagian Akhir)
Lonceng itu berbunyi lagi. Pelan, namun cukup nyaring untuk
menghentikan waktu.
Deng… deng…
Kami menoleh bersamaan. Lintang, Aura, dan Kelsi berdiri mematung,
menatap ke arah gantungan logam tua itu di ujung koridor. Sumber suara yang
selama ini kami benci sekaligus rindukan.
Itulah...
Suara terakhir yang kami dengar sebagai murid di sekolah ini.
Lintang menarik napas panjang, seolah ingin menyimpan suara itu di
dadanya. “Itu... terakhir kalinya kita denger suara lonceng itu,” ucapnya
lirih.
Aura mengangguk, menunduk, suaranya nyaris berbisik. “Suara yang
dulu bikin kita ngeluh karena pelajaran belum juga kelar…”
Kelsi menambahkan, setengah tertawa, “...dan sekarang malah kita
yang belum siap selesai.”
Hening.
Angin sore menyapu rambut kami, seolah ikut menyeka perasaan yang tak sanggup
diucapkan.
Lintang menatap mereka berdua, matanya sedikit sembab tapi
mencoba tetap tenang. “Kalian... mau ke mana setelah ini?” tanyanya. “Masuk
sekolah mana?”
Aura butuh waktu sebelum menjawab. “Aku mungkin pindah ke kota.
Papa kerja di sana. Aku bakal masuk SMA yang katanya ketat banget.”
Kelsi menjawab pelan, “Aku di sini aja. Di SMA dekat rumah. Tapi
aku takut... semua bakal beda. Gak ada kalian.”
Lintang menggigit bibirnya, lalu tersenyum kecil. “Aku juga masih
bingung... Tapi yang paling bikin takut bukan soal sekolah baru. Tapi... kalau
suatu hari nanti kita ketemu lagi, kalian udah lupa aku.”
Aura memeluk Lintang tanpa berkata apa-apa. Kelsi ikut memeluk
dari samping.
“Kita gak akan lupa kamu,” bisik Kelsi.
Lintang tertawa kecil, suara yang dulu selalu memecah kelas
dengan candaan, kini terdengar getir. “Tapi kalau kalian lupa, gak apa-apa kok.
Aku bakal tetap inget kalian. Kelas ini. Loncenya. Bahkan suara kalian
tertawa.” Langit berubah jingga.
Hari mulai gelap.
Tapi dalam pelukan itu, kami tetap hangat. Bukan karena tempat,
bukan karena waktu, tapi karena hati
yang sama-sama belum siap berpisah. Hari itu… kami tidak hanya meninggalkan
sekolah. Kami juga belajar: bahwa perpisahan bukan akhir dari segalanya—hanya
tanda bahwa sesuatu yang indah pernah ada.
jangan lupa beri komentar setelah membaca, masukan, saran dan kritik. boleh dengan senang hati
BalasHapus