Jumat, 30 Mei 2025

"Jangan Buka Buku Aira"

 

"Jangan Buka Buku Aira"

By. Audri dan Deni

Pada suatu sore yang mulai gelap, suasana di SMPN 2 Dendang terasa lebih sunyi dari biasanya. Sekolah yang terletak di pinggiran kota itu berdampingan dengan hutan rimba yang lebat, tempat yang oleh warga sekitar sering dianggap angker. Riko, siswa kelas 8, masih berada di sekolah. Ia memutuskan untuk menyelesaikan tugas kelompok di ruang laboratorium lama, yang letaknya berada di bagian paling belakang sekolah. Ia sudah janjian dengan sahabatnya, Aldo, serta beberapa teman lainnya. Namun hingga kini, hanya dia yang datang.

“Mana sih si Aldo? Udah janjian dari tadi, gak muncul-muncul juga,” keluh Riko, berdiri di depan ruang lab. Bangunan tua itu tampak menyeramkan dengan cat dinding yang mengelupas dan lumut yang menjalar sampai ke atas pintu. Di sebelahnya, hutan lebat seolah mengawasi dalam diam.

Riko mencoba menelpon. Tapi tak ada nada sambung. Ia menghela napas dan menutup ponsel.

 BRAK!

Suara keras dari belakang membuat jantung Riko serasa mau copot. Ia menoleh perlahan, langkahnya ragu mendekati sumber suara. Ternyata hanya sebatang ranting jatuh menimpa tumpukan seng bekas dan sampah.

“Ya Allah... Kupikir apaan tadi,” desis Riko sambil mengusap dada.

Saat ia hendak berbalik, tiba-tiba—

"HUAAHAHAHA!"

Terdengar tawa keras dari depan.

“ASTAGHFIRULLAH! Monyet! Eh—monyet!” Riko terlonjak. “Aldo! Gila ya kamu! Hampir mati aku!”

Aldo tertawa puas. “Kalau kamu mati, paling juga aku buang ke hutan sebelah. Beres, kan?”

Riko menatapnya kesal. “Ngomong-ngomong, yang lain mana?”

“Mana kutahu. Kamu yang ngajak janjian, bukan aku. Aku sih tadi sempat mampir ke toilet. Sarapan nasi goreng pedas, bro... efeknya brutal,” jawab Aldo sambil cengengesan.

“Alasan aja, dasar kamu. Padahal kita mau kerja kelompok bareng Niko, Anji, Adelia, Aurel. Mereka gak bareng kamu?”

“Ngapain juga aku bareng anak-anak itu? Emang aku emaknya?”

Riko hendak menjawab, namun ponselnya tiba-tiba bergetar.

Sebuah pesan masuk.

Dari Aira.

“Kalian di mana? Aku di lab, kok gelap banget ya, padahal lampu nyala semua.”

“Eh... Aira katanya udah di lab,” ucap Riko bingung.

Aldo menoleh cepat. “Hah? Dari tadi kita di sini, gak ada siapa-siapa.”

Mereka saling berpandangan. Tiba-tiba, pintu laboratorium yang semula tertutup rapat, berderit membuka.

Angin dingin menyapu wajah mereka, membawa bau lembab dan... amis. Dari dalam lab, terdengar bisikan pelan—nyaris seperti suara anak perempuan.

“Kalian... akhirnya datang juga...”

Riko mundur satu langkah. Aldo menelan ludah. Suara itu tidak asing.

Sosok hitam tampak berdiri di pojok ruangan. Rambutnya panjang menutupi wajah, bajunya seperti seragam sekolah... basah.

“Lari, Do!” Riko berteriak.

Mereka berdua langsung berbalik dan lari secepat mungkin menuju gerbang sekolah. Namun ketika sampai di pintu keluar, Aldo tiba-tiba berhenti.

“Eh, Rik...” katanya pelan. “Tadi kamu bilang yang ngirim pesan itu Aira, kan?”

“Iya. Kenapa?”

Aldo menatapnya dengan wajah pucat. “Tapi... bukannya Aira udah meninggal bulan lalu? Waktu nyasar di hutan belakang sekolah ini?”

Riko terpaku.

Perlahan, ia membuka kembali ponselnya. Tapi...

Layar ponselnya kosong. Tak ada pesan masuk. Tak ada kontak bernama Aira.

Setelah ketegangan yang sempat membuat mereka hampir kabur, Riko dan Aldo akhirnya memutuskan untuk kembali ke ruang laboratorium.

“Yakin nih balik ke sana?” tanya Aldo sambil celingukan ke arah hutan.

“Yakin gak yakin, kita di sekolah buat kerja tugas, bukan kabur ketakutan,” jawab Riko. “Lagi pula, mungkin tadi cuma halusinasi kita aja.”

Setelah mengumpulkan keberanian, mereka masuk ke dalam laboratorium tua itu. Bau lembab dan debu memenuhi udara. Kursi dan meja tersusun seadanya. Di ujung ruangan, papan tulis penuh coretan lama, sebagian bahkan sudah tak terbaca. Beberapa menit kemudian, Niko, Adelia, dan Aurel datang dengan wajah bingung.

“Maaf telat,” kata Niko. “Tadi kita nyari kalian. Katanya kumpul di aula.”

“Aula?” tanya Riko. “Yang ngajak di lab itu kamu, kan?”

Niko menggeleng. “Bukan aku. Aira yang bilang di grup.”

Mereka semua saling pandang. Tak ada yang berani menyebut nama Aira lebih jauh. Meski suasana masih terasa janggal, mereka akhirnya membuka buku dan laptop, mulai mengerjakan tugas. Riko sesekali menoleh ke jendela, memperhatikan bayangan pohon yang menari di balik cahaya lampu.

Dan saat itulah—semua lampu padam.

"CETAK!"

Ruangan langsung gelap gulita. Hanya suara napas mereka yang terdengar.

“Woi… siapa yang matiin lampu?” bisik Aurel, suaranya gemetar.

“Aku gak gerak apa-apa!” kata Adelia panik.

Tiba-tiba dari pojok ruangan, terdengar suara—ketukan lambat di dinding kayu.

Tok. Tok. Tok. Semua membeku. Tak ada yang bicara. Ketukan itu makin cepat, makin keras.

TOK TOK TOK TOK TOK!

“Udah jangan main-main!” Aldo berteriak, meski suaranya terdengar goyah.

Lalu dari arah belakang, suara pelan muncul.

“Kalian... sudah siap mengerjakan tugas yang sebenarnya?”

Lampu tiba-tiba menyala kembali.

Tapi kini... satu kursi tambahan tampak terisi.

Seorang gadis berseragam duduk diam di sana, rambut panjang menutupi wajahnya.

Buku catatan di depannya berdarah.

Dan di sampingnya, tertulis nama:

AIRA.

Lampu menyala kembali.

Riko menatap bangku di sebelahnya. Tak ada siapa-siapa. Kosong. Tapi tadi dia jelas melihat sesosok gadis duduk di sana.

“Aira…” bisik Niko, hampir tak terdengar.

“Aira udah gak ada, kan?” tanya Aurel pelan, wajahnya pucat.

Semua terdiam. Ruangan yang tadi sempat panas karena panik, kini berubah dingin seolah AC menyala padahal colokannya tak terpasang.

Lalu, pintu lab tiba-tiba terbuka.

Seseorang masuk dengan santai, menenteng tas dan botol minum.

“Eh… sori telat ya, lama banget di toilet tadi. Nasi padang tadi siang bikin perutku berontak,” ucap Anji, duduk santai di kursi paling pojok.

Semua menatapnya dengan wajah kaget dan sedikit kesal.

“Kamu dari tadi di mana?!” bentak Adelia.

“Di belakang. Emang kenapa sih? Kok kalian kaya abis lihat setan semua?”

Anji membuka buku catatannya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Ia duduk, mencoret-coret sesuatu sambil bersenandung kecil. Tak satu pun dari mereka menjawab. Tak satu pun mau menjelaskan kenapa suasana tadi berubah mencekam. Tak satu pun mau bilang soal suara ketukan, suara bisikan... atau sosok Aira yang muncul di tengah kegelapan. Mereka hanya saling tarik napas... dan kembali menunduk, berpura-pura sibuk.

Tiba-tiba—PINTU LAB MENUTUP SENDIRI.

“BRAKKKK!”

Anji berdiri refleks. “Eh? Kok nutup sendiri sih?”

Riko mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Ia dorong, tarik, bahkan tendang. Tetap tak bergeming.

“Gak bisa dibuka,” katanya pelan. “Terkunci dari luar.”

Semua mulai panik lagi. Aldo mencoba jendela. Terkunci rapat. Niko bahkan mencoba membongkar kunci dengan penjepit kertas, tapi gagal.Saat itulah, Adelia menunjuk ke papan tulis dengan wajah pucat pasi. Di sana tertulis dengan kapur putih:

"Tugas belum selesai. Siapa yang keluar... akan digantikan."

Tulisan itu tidak ada saat lampu menyala tadi.

Dan kapur di lantai—bergerak sendiri. Menulis kalimat tambahan:

"Terima kasih telah datang, Anji."

Mereka semua menatap Anji... yang kini tak lagi kelihatan seperti Anji.

Wajahnya menunduk.Tak bergerak. Dan perlahan, darah menetes dari matanya. Ruangan laboratorium yang sempit kini benar-benar senyap. Hanya suara detak jarum jam tua di dinding yang terus berdetak pelan—tik… tik… tik…

Anji masih duduk di kursinya. Menunduk. Tak bergerak sedikit pun. Darah yang tadi menetes dari matanya sudah mengering di pipinya. Tapi yang membuat mereka lebih takut—dia tersenyum.

Senyum kaku, menyeramkan. Matanya kosong seperti tak ada jiwa di dalamnya.

“Rik… kita gak bisa terus di sini,” bisik Aurel.

“Jangan panik,” sahut Riko pelan, meski keringat dingin membasahi lehernya.

Tiba-tiba...

Lampu kembali mati.

Gelap gulita.

“Siapa punya senter? Cepet!” teriak Adelia.

Niko buru-buru menyalakan lampu dari ponselnya. Cahaya kecil itu menyorot wajah-wajah tegang di sekeliling meja. Tapi...

Satu orang hilang.

Aldo.

“Kemana Aldo?” seru Riko.

“Baru aja di sebelahku tadi!” Aurel hampir menangis. Cahaya senter diarahkan ke seluruh sudut ruangan. Kosong. Tak ada suara, tak ada jejak. Di atas meja tempat Aldo duduk, kini ada sebuah kertas robek. Riko meraihnya perlahan. Tulisannya pakai huruf miring, seolah ditulis dengan tangan gemetar:

"Dia menolak mengerjakan tugas. Maka dia yang pertama."

Mereka semua mundur beberapa langkah. Nafas mereka terengah-engah, dada sesak.

"Dia... siapa yang nulis ini?" gumam Adelia.

Mereka berusaha menenangkan diri, kembali duduk bersama. Namun tak sampai lima menit, saat mereka hendak memulai membaca buku tugas...

Cahaya ponsel Niko padam.

“Woi, hape gue!” Niko panik, mencoba menyalakannya lagi. Gagal. Detik berikutnya, suara kursi bergeser terdengar pelan. Semua menoleh ke arah suara itu. Niko tidak ada.

“Ya Allah… satu lagi!” Adelia teriak. Kini mereka tinggal bertiga: Riko, Aurel, dan Adelia.

Aurel mulai menangis. “Aku gak mau ikut-ikutan ilang... aku gak mau…”

Tapi saat mereka menoleh ke arah Anji, dia sudah berdiri. Tubuhnya masih membelakangi mereka. Perlahan ia menoleh—dan suara berbisik kembali terdengar, kali ini jauh lebih dekat:

“Yang terakhir... akan tetap di sini. Menjadi bagian dari ruangan ini...”

Kini hanya tersisa dua orang: Riko dan Adelia.

Aurel menghilang beberapa menit lalu, dan mereka tahu… kalau mereka tidak bertindak cepat, mereka akan menyusul.

“Rik… aku takut. Kita harus keluar dari sini,” bisik Adelia.

“Pintu terkunci. Jendela gak bisa dibuka. Cuma ada satu jalan…”

Riko menunjuk ke papan tulis. Di sana, tulisan tadi masih terbaca samar:

"Tugas belum selesai. Siapa yang keluar... akan digantikan."

Adelia menelan ludah. “Kita harus... nyelesaiin tugas?”

“Bukan tugas biasa. Ini tugas yang... dulu gak selesai.”

Riko membuka laci meja guru. Tangannya menyentuh sesuatu—buku catatan tua, berdebu, dengan stiker nama: Aira Rahmawati, 8A. Ia membukanya perlahan. Di dalamnya... ada tulisan terakhir yang seperti coretan tergesa:

“Aku gak mau ikut mereka… aku tahu lab ini ada yang jagain… tapi mereka maksa ritual itu. Aku kabur. Tapi aku dengar suara... suara dari dalam dinding...”

Mereka saling tatap.

“Aira... bukan meninggal karena tersesat,” desis Riko. “Dia kabur dari... sesuatu.”

Tiba-tiba, suara kursi jatuh dari belakang.

Anji kini berdiri tepat di tengah ruangan. Kepalanya menunduk, tubuhnya kaku. Saat ia angkat wajahnya, mereka melihat matanya hitam pekat—penuh kegelapan.

Dengan suara yang bukan suara Anji, ia berkata:

“Aira tidak menyelesaikan tugasnya. Tapi kalian bisa menggantikannya.”

Riko dan Adelia mundur. Tapi lalu, Riko punya ide gila.

“Del… kau ingat buku catatan Aira yang kita temukan tadi pagi di perpustakaan? Yang isinya mantra-mantra aneh?”

Adelia mengangguk. “Yang tulisannya dibalik? Aku fotoin!”

Dengan tangan gemetar, ia membuka ponselnya dan menemukan foto itu.

Tertulis di sana:

"Jika ingin memanggil roh yang tersesat, sebut namanya tiga kali di ruang tempat ia pergi. Tawarkan penyelesaian yang tak sempat dituntaskan."

Riko berdiri, meski lututnya lemas.

“Aira… Aira… Aira…”

Udara mendadak berubah. Dinginnya menusuk tulang.

Cahaya lampu mulai berkedip-kedip.

Dan dari dinding belakang lab... perlahan muncul kabut tipis. Di tengah kabut itu, sesosok gadis berambut panjang berdiri.

Aira.

Wajahnya pucat, matanya merah, tapi ia terlihat... sedih.

“Aku... cuma mau menyelesaikan tugasku. Mereka paksa aku ikut ritual itu... Tapi aku gak siap... dan aku... terjebak.”

Riko menelan ludah. “Kita bisa bantu.”

Adelia menyerahkan buku tugas mereka. “Selesaikan tugasmu. Kita bantu tuliskan.”

Aira menatap mereka. Lalu perlahan berjalan menuju meja.

Anji tiba-tiba meraung keras—suara dalam tubuhnya menjerit, seperti makhluk yang terbakar. Ia ambruk ke lantai... dan tidak bergerak lagi.

Aira mengambil pena. Ia menulis sesuatu... cepat... dan akhirnya menutup buku itu.

Lalu ia menatap Riko dan Adelia... tersenyum.

“Terima kasih…”

BRUK!

Cahaya padam total. Suara keras terdengar seperti pintu yang dibuka paksa.

Dan ketika cahaya kembali…

Lab sudah kosong.

Riko dan Adelia berdiri di luar ruangan, tepat di depan pintu. Mereka saling pandang, terengah-engah.

“Del…”

“Ya?”

“Kayaknya... tugasnya udah selesai.”

 

Malam Terakhir Aira

Dunia tiba-tiba membeku. Waktu berputar ke belakang. Lampu-lampu laboratorium kini kuning temaram. Jam dinding menunjukkan pukul 22.10. Aira muda duduk di kursinya. Matanya sembab. Di sekelilingnya empat siswa lain—semuanya wajah familiar. Mereka teman satu kelompoknya.

“Cepatlah, Aira,” kata salah satu. “Kalau kamu gak ikut, kita semua bakal dapat nilai nol!”

“Tapi ini... ini bukan sekadar main-main,” ucap Aira ketakutan. “Ini manggil sesuatu…”

Mereka tertawa. Satu dari mereka membuka buku kuno yang mereka temukan di ruang arsip. Mereka menyebutnya “buku pemanggil roh penjaga sekolah.”

Mantranya dibacakan... dan saat itu juga udara berubah.

Lampu berkedip.

Tok... tok... tok...

Ketukan dari dalam dinding.Bayangan hitam menyelimuti ruangan. Aira berteriak, lari ke sudut lab, bersembunyi. Teman-temannya satu per satu... menghilang. Diseret. Ditelan dinding. Raib entah ke mana. Ia menulis cepat di buku catatannya, pesan terakhir... sebelum kegelapan menyapanya juga.

“Aku tidak ingin ikut. Tapi mereka paksa. Aku tidak tahu caranya keluar. Jika kau membaca ini… tolong selesaikan tugasku.”

Seminggu kemudian, ruang laboratorium ditutup permanen. Guru-guru tidak membahasnya lagi. Tidak ada kabar soal Aldo, Niko, Aurel. Bahkan Anji dikabarkan pindah sekolah mendadak.

Tapi setiap malam Jumat, penjaga malam kadang mendengar suara...

“Tok… tok… tok…”

Dan di dalam lab, buku catatan Aira masih tergeletak di atas meja. Kadang… halamannya terbuka sendiri.Dan setiap halaman itu…

…berisi tugas baru.

 

Epilog (versi revisi dengan Akbar dan Ustad Riki)

Seminggu setelah kejadian di lab, ruang itu ditutup permanen. Gembok besi diganti baru. Tidak ada guru yang mau membahasnya. Tidak ada siswa yang berani mendekat. Namun kabar-kabar tetap beredar. Terutama tentang Akbar, alumni sekolah itu yang kini dikabarkan mendekam di penjara. Konon, dialah yang dulu membawa kitab ritual terkutuk ke lab, memaksa Aira dan teman-temannya menjalani permainan berbahaya. Ia menyimpan dendam buta karena tidak pernah bisa mengalahkan Aira dalam pelajaran. Kini ia membayar semuanya. Tapi jejak perbuatannya… tetap tertinggal.

Sementara itu, nasib Riko, Aurel, dan Aldo tak pernah benar-benar pasti—hingga suatu malam, seorang ustad muda bernama Riki datang ke sekolah. Ia merasa dipanggil dalam mimpi, oleh seorang gadis berjilbab putih yang menangis sambil membawa buku tugas.Ia datang, berdoa di depan ruang laboratorium, dan membaca ayat-ayat pelindung. Lalu… angin bertiup pelan, pintu lab berderit terbuka, dan di dalam...Tiga remaja duduk lemas, seperti baru terbangun dari tidur panjang.

Mereka kembali.

Tidak ada yang tahu bagaimana caranya. Tapi semua sepakat: bukan karena manusia semata.Kini, sekolah tetap berjalan. Tapi tak ada yang pernah mau mengerjakan tugas di ruang lab tua lagi. Dan buku catatan Aira?

Masih ada di sana. Terkunci dalam lemari besi. Dibiarkan... diam.

Karena setiap kali seseorang menyentuhnya, mereka bisa mendengar suara halus, seperti bisikan:

“Tugasku sudah selesai. Tapi… siapa yang selanjutnya?”

#cerpen #ceritahoror #filmhantu

 

 

 Demam Horor

    Perfilm-an Idonesia atau negara-negara Asean lagi maraknya film berbau mistik atau kita lebih mengenalnya HOROR, entah itu ceritanya real atau hanya mitos saja. tapi bagi pencinta film mau itu nyata atau tidak kalau sudah di buat oleh Sutradara dengan nuansa yang indah maka filmnya pasti menarik dan penontonnya pun tertarik untuk menonton. dan pembuatan film itu memakan waktu berbulan bulan dengan biaya tidak sedikit. saya pernah menyaksikan syuting film layar lebar, kala itu tahun 2023 film Kuyang yang sempat syuting di lokasi kampungku. cerita film tersebut cerita fakta orang zaman dulu. backrounnya pun mereka atur sedemikian rupa seperti masa lalu. syuting mereka sesuai dengan cerita, kalau lagi malam ya mereka harus syuting malam walau pun di tengah hutan sekalian. 

    dan saat ini di dunia modern bioskop tetap laris manis ya walau di jaman digital yang keliatan pertelevisian sudah sedikit peminatnya. kenapa bioskop menjadi hiburan bagi pencinta film, disitu ada rasa puas tersendiri ketika sedang menonton film kesukaan kita. dengan demikian kita duku perfilm-an Indonesia entah berdcerita horor atau nuansa cinta dll. kita jadikan sebagai hiburan               

Kamis, 29 Mei 2025

LONCENG TERAKHIR

                                     “Lonceng Terakhir”
                                                               By. Deni Irwansyah

Langit  hari  itu  mendung,  seolah  ikut  merasakan  beratnya  hati  kami.  Di  halaman  sekolah  yang  biasa  riuh  dengan  tawa,  hari  ini  penuh  dengan  isak  tangis  tertahan.  Seragam  putih  biru  yang  dulu  terasa  biasa  saja,  kini  seakan  punya  makna.  Ini  hari  terakhir  kami  di  sini.

"Aku  gak  percaya  ini  hari  terakhir  kita  duduk  bareng,"  ucap  Aura  pelan,  memeluk  erat  sahabatnya,  Kelsi.

Kelsi  hanya  mengangguk.  Matanya  sembab,  dan  tangannya  tak  henti  meremas  ujung  seragam.  Mereka  bersahabat  sejak  kelas  7,  saling  menenangkan  saat  patah  hati,  saling  dukung  saat  ujian,  saling  bahu  saat  dunia  terasa  berat.

"Aku  takut,  Kel,"  Aura  melanjutkan.  "Takut  kita  nggak  seakrab  ini  nanti.  Takut  kamu  lupa  aku."

Kelsi  tersenyum  pahit.  "Mana  mungkin  aku  lupa  kamu,  orang  yang  selalu  duduk  di  sebelahku,  pinjam  pensilku,  curi  makananku  pas  istirahat."

Dari  kejauhan,  lonceng  berbunyi.  Lonceng  terakhir  kami  di  sekolah  ini. Di  sekeliling  kami,  teman-teman  lain  mulai  berpelukan.  Ada  yang  tertawa  untuk  menutupi  tangis,  ada  yang  hanya  diam  menatap  langit.  Semua  merasakan  hal  yang  sama:  hampa. Pak  Mulyono,  wali  kelas  kami,  berdiri  di  depan  aula.  Suaranya  bergetar  saat  bicara,  “Kalian  bukan  cuma  murid  saya.  Kalian  adalah  bagian  dari  hidup  saya  selama  tiga  tahun  ini.  Kalian  akan  pergi,  tapi  kenangan  kalian  tetap  tinggal.”

Tangis  pecah.  Bahkan  anak  laki-laki  yang  biasanya  paling  jahil  pun  tak  mampu  menahan  air  mata.

Setelah  acara  perpisahan  selesai,  kami  duduk  berdua  di  bangku  taman  sekolah  yang  sudah  mulai  lapuk.  Tempat  kami  sering  cerita  soal  mimpi-mimpi.

"Kel,"  bisik  Aura,  "kalau  suatu  saat  nanti  kamu  udah  sibuk,  punya  dunia  baru,  jangan  lupa  sesekali  lihat  ke  belakang  ya.  Di  situ,  ada  aku."

Kelsi  mengangguk.  "Dan  kamu  juga.  Kita  mungkin  nggak  bisa  bareng  terus,  tapi  aku  percaya...  sahabat  sejati  nggak  perlu  selalu  bersama  untuk  tetap  dekat."

Kami  berpelukan.  Lama.  Seolah  memeluk  semua  kenangan  yang  pernah  ada.

Langit  akhirnya  menangis  bersama  kami.

Di  tengah  pelukan  dan  air  mata  yang  mengalir  tanpa  malu,  terdengar  suara  isak  yang  berbeda.  Bukan  tangis  lirih  yang  ditahan,  tapi  sesenggukan  keras,  nyaring,  dan  tulus.  Semua  mata  menoleh  ke  arah  ujung  barisan.  Di  sana,  berdiri  seorang  laki-laki  yang  tubuhnya  terguncang  oleh  tangis.  Lintang.  Ia  biasa  jadi  pusat  kekacauan  di  kelas.  Suka  jahil,  suka  usil,  kadang  menjengkelkan.  Ia  sering  duduk  sendiri  di  pojok  belakang,  pura-pura  sibuk  dengan  coretan  bukunya,  tapi  sesekali  matanya  mencuri  pandang  ke  arah  teman-temannya  yang  tertawa.

Hari  itu,  topengnya  runtuh.

"Lintang?"  bisik  Kelsi,  hampir  tak  percaya.

Lintang  mengusap  wajahnya  kasar,  tapi  air  matanya  tetap  tumpah.  "Maaf  ya...  kalau  aku  sering  nyebelin,"  suaranya  pecah.  "Aku  cuma...  nggak  tahu  cara  nunjukin  kalau  aku  sayang  sama  kalian  semua."

Aura  dan  kelsi  saling  pandang,  lalu  berjalan  menghampirinya.

Lintang  menunduk,  menahan  isak.  "Aku  gak  punya  banyak  temen.  Kalian  satu-satunya  yang  bikin  aku  betah  di  sekolah.  Tapi  aku  gak  pernah  bilang...  karena  takut  diketawain."

Tanpa  banyak  kata,  Kelsi  meraih  tangannya.  Aura  memeluknya  dari  samping.

"Nggak  ada  yang  ketawain  kamu,  Tang.  Kita  semua  sayang  kamu  juga,"  bisik  Aura  lembut.

Tangis  Lintang  pecah  lagi,  kali  ini  di  dalam  pelukan  sahabat-sahabat  yang  selama  ini  diam-diam  berarti  baginya.  Beberapa  teman  lain  ikut  mendekat,  satu  per  satu  memeluk  Lintang.  Tidak  ada  lagi  gengsi,  tidak  ada  lagi  julukan  "anak  rese."  Yang  ada  hanya  manusia-manusia  muda  yang  sedang  belajar  arti  kehilangan,  perpisahan,  dan  kasih  yang  tak  sempat  terucap.  Hari  itu,  bukan  hanya  langit  yang  menangis.  Tapi  juga  hati-hati  yang  akhirnya  bicara.  Dan  di  tengah  air  mata  itu,  persahabatan  menemukan  bentuknya  yang  paling  jujur. 

“Hening  Terakhir  di  Kelas  IX”

Dulu, kelas IX. A adalah  sumber  keributan  sekolah.  Suara  kursi  diseret,  tawa  meledak  tanpa  permisi,  dan  pura-pura  diam  tiap  kali  langkah  kaki  Waka  SMP  2  Dendang—Pak  Yono—mendekat.  Beliau  galaknya  luar  biasa.  Satu  tatapan  saja  bisa  membuat  seisi  kelas  mendadak  jadi  patung.

Tapi hari ini Ruangan itu sunyi. Kelam. Tak  ada  suara,  tak  ada  gelak,  tak  ada  teriakan  atau  “psst!”  untuk  menyembunyikan  makanan  dari  guru  piket. Nicolas  dan  Rafa  berdiri  di  ambang  pintu  kelas,  menatap  ke  dalam  dengan  tatapan  kosong.  Meja-meja tersusun rapi, tapi kehilangan jiwanya.  Seolah  semua  tawa,  marah,  dan  cinta  yang  pernah  tertinggal  di  sana  telah  menguap  bersama  waktu.

“Gak  ada  lagi  Las,  gak  ada  lagi  candaan  kita,”  ucap  Rafa  lirih.  Matanya  menerawang,  seolah  mencari  bayangan  masa  lalu  yang  masih  tertinggal  di  sudut  dinding. Nicolas  tersenyum  tipis. 

“Dan yang  paling  lucu,  inget  gak  si  Ilham?  Suka molor di pojok sini pas Zuhur.  Ngoroknya  bisa  ngalahin  toa  masjid.”

Rafa terkekeh  kecil,  lalu  diam.  Suasana  terlalu  berat  untuk  tertawa.

“Semenjak  Pak  Yono  jadi  waka,  kita  gak  bisa  gerak  banyak  ya,”  lanjut  Nicolas.  “Orang satu  itu  detil  banget.  Kita nyari alasan bolos aja kayak nyari jalan ninja.”

Lalu mereka sama-sama diam.

Pandangan  mereka  jatuh  ke  meja  Ilham.  Kosong.

“Aku  kangen,”  bisik  Nicolas,  menggenggam  bahu  Rafa.  “Nanti,  suatu  hari,  waktu  kita  udah  jauh  dari  sini,  kamu  bakal  inget  gak...  ruangan  ini?  Semua  kekacauan  kita?”

Rafa  mengangguk  pelan.  “Aku  bakal  inget.  Semuanya.  Bahkan  Fauzan  yang  selalu  nyeker  tiap  pulang  sekolah.  Belum  nyampe  gerbang  aja,  Pak  Yono  udah  teriak  dari  kejauhan.”

Mereka  tertawa  sebentar.  Tangis  yang  menyamar.

Langit  di  luar  gelap.  Bukan  karena  hujan,  tapi  karena  perpisahan.  Semua  cerita  yang  mereka  bangun  tiga  tahun  ini,  kini  tinggal  kenangan  di  dinding  kusam  kelas  yang  pernah  mereka  sebut  rumah  kedua.

Rafa  melangkah  masuk,  menyentuh  meja  yang  dulu  miliknya.  Nicolas  mengikuti.

“Pokoknya...  sedihlah,” ucap  Rafa,  suaranya  nyaris  tak  terdengar.

Dan  untuk  pertama  kalinya  dalam  tiga  tahun,  kelas  IX  benar-benar  hening.
Tapi  kali  ini  bukan  karena  takut  dimarahi,

melainkan  karena  hati  yang  tak  sanggup  mengucap  selamat  tinggal.

Lonceng Terakhir (Bagian Akhir)

Lonceng itu berbunyi lagi. Pelan, namun cukup nyaring untuk menghentikan waktu.

Deng… deng…

Kami menoleh bersamaan. Lintang, Aura, dan Kelsi berdiri mematung, menatap ke arah gantungan logam tua itu di ujung koridor. Sumber suara yang selama ini kami benci sekaligus rindukan.

Itulah...
Suara terakhir yang kami dengar sebagai murid di sekolah ini.

Lintang menarik napas panjang, seolah ingin menyimpan suara itu di dadanya. “Itu... terakhir kalinya kita denger suara lonceng itu,” ucapnya lirih.

Aura mengangguk, menunduk, suaranya nyaris berbisik. “Suara yang dulu bikin kita ngeluh karena pelajaran belum juga kelar…”

Kelsi menambahkan, setengah tertawa, “...dan sekarang malah kita yang belum siap selesai.”

Hening.
Angin sore menyapu rambut kami, seolah ikut menyeka perasaan yang tak sanggup diucapkan.

Lintang menatap mereka berdua, matanya sedikit sembab tapi mencoba tetap tenang. “Kalian... mau ke mana setelah ini?” tanyanya. “Masuk sekolah mana?”

Aura butuh waktu sebelum menjawab. “Aku mungkin pindah ke kota. Papa kerja di sana. Aku bakal masuk SMA yang katanya ketat banget.”

Kelsi menjawab pelan, “Aku di sini aja. Di SMA dekat rumah. Tapi aku takut... semua bakal beda. Gak ada kalian.”

Lintang menggigit bibirnya, lalu tersenyum kecil. “Aku juga masih bingung... Tapi yang paling bikin takut bukan soal sekolah baru. Tapi... kalau suatu hari nanti kita ketemu lagi, kalian udah lupa aku.”

Aura memeluk Lintang tanpa berkata apa-apa. Kelsi ikut memeluk dari samping.

“Kita gak akan lupa kamu,” bisik Kelsi.

Lintang tertawa kecil, suara yang dulu selalu memecah kelas dengan candaan, kini terdengar getir. “Tapi kalau kalian lupa, gak apa-apa kok. Aku bakal tetap inget kalian. Kelas ini. Loncenya. Bahkan suara kalian tertawa.” Langit berubah jingga.

Hari mulai gelap. Tapi dalam pelukan itu, kami tetap hangat. Bukan karena tempat,
bukan karena waktu,  tapi karena hati yang sama-sama belum siap berpisah. Hari itu… kami tidak hanya meninggalkan sekolah. Kami juga belajar: bahwa perpisahan bukan akhir dari segalanya—hanya tanda bahwa sesuatu yang indah pernah ada.

 

 

 

https://www.wattpad.com/1551151399-guru-pembeku-senyum-bab-pertama-kedatangan-di